“Mendengar Suara Marginal: Sebuah Upaya Mengaktualisasikan Kasus Kusta di Masa Pandemi guna Meningkatkan Kepedulian dan Solidaritas terhadap Persoalan Kusta di Indonesia”

Sub Tema: Kusta di Masa Pandemi

 

I. Pendahuluan: Sekilas Memahami Kusta

            Saya membuka tulisan ini dengan sebuah pertanyaan sederhana: “Apa yang kita ketahui tentang kusta?”. Saya menduga, mungkin kebanyakan dari kita sudah pernah mendengar tentang kusta dan mungkin tahu sedikit-sedikit mengenai hal itu. Namun, saya juga tetap terbuka pada kemungkinan lain bahwa tidak sedikit dari antara kita yang mungkin belum tahu sama sekali. Saya ada di posisi yang pertama. Saya tahu tentang kusta, tetapi secara jujur mengakui bahwa saya tidak mengetahui terlalu banyak mengenai kusta, kecuali bahwa kusta itu merupakan penyakit yang berbahaya dan juga telah dikenal sejak zaman purba (kurang lebih 1550 SM, tulisan mengenai kusta tertemu di papirus Mesir kuno).[1] Orang-orang zaman dahulu biasanya menganggap kusta sebagai sebuah penyakit kutukan karena tidak bisa diobati serta mudah menular kepada orang lain. Karena itu dulunya, orang-orang kusta harus diasingkan dari antara komunitas masyarakat normal yang sehat. Akibatnya, komunitas kusta menjadi komunitas yang “tak terlihat” dan marginal.

Pertanyaan selanjutnya, apakah komunitas “tak terlihat” ini masih ada di zaman sekarang yang sudah modern ini? Tentu saja masih ada (mungkin terkesan tidak ada karena “tak terlihat”). Karena penasaran juga, saya mencoba berselancar ke beberapa website yang membahas tentang kusta yang terjadi di zaman sekarang. Alhasil, saya berhasil menemukan pengetahuan dan pemahaman baru mengenai penyakit yang dulunya dianggap berbahaya, tidak bisa diobati, dan menular ini. Di zaman sekarang (dalam dunia medis modern), kusta lebih familiar disebut dengan penyakit lepra atau Mobus Hansen karena yang menjadi penyebab utama terjadinya penyakit ini ialah infeksi bakteri mycobacterium leprae yang menyerang jaringan kulit, syaraf tepi, dan saluran pernapasan. Penyakit kusta bisa disembuhkan melalui pengobatan antibiotik kombinasi, serta langkah pencegahan yang terintegrasi. Selain itu, penyakit kusta tidak bisa menular sembarangan seperti pandangan kuno yang telah saya sebutkan sebelumnya, melainkan melalui kontak panjang dengan cairan saluran pernapasan (droplet) penyandang kusta.[2] Dari pemaparan singkat mengenai pemahaman lama tentang kusta di zaman purba dan pemahaman baru tentang kusta di zaman sekarang, kita disadarkan oleh realita bahwa jangan-jangan selama ini pandangan kita tentang penyandang kusta masih dipengaruhi oleh pandangan lama sehingga membentuk stigma. Oleh karena itu, menurut saya, kita sudah harus memulai sebuah upaya merekonstruksi pemahaman kita tentang kusta. Tidak hanya berhenti pada tahap mere-konstruksi saja, tetapi tulisan ini saya arahkan sampai pada tahap mengaktualisasikan kasus kusta di zaman sekarang, khususnya di masa pandemi.

II. Kusta di Masa Pandemi: Tantangan Stigma, Diskriminasi, dan Terbatasnya Ruang Gerak

            Merujuk pada keterangan dari Liputan 6.com, angka peningkatan kasus kusta di Indonesia pada tahun 2019 mencapai angka 17.439 kasus. Kemudian sempat menurun di tahun 2020 menjadi 9.061 kasus baru, lalu di tahun 2021 total keseluruhan kasus kusta telah mencapai angka 16.704 kasus. Menurut Siti Nadia Tarmizi selaku direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, memang sudah banyak provinsi di Indonesia yang terdata kasus kusta telah berhasil dieliminasi kasusnya, tetapi masih tersisa 8 provinsi dan 113 kabupaten/kota dari 514 kota/kabupaten yang tersebar di 22 provinsi belum sama sekali tereleminasi. Selain itu, menurut Tarmizi, salah satu faktor yang menyebabkan lambatnya proses eliminasi kasus kusta di Indonesia ialah karena semua fasilitas kesehatan difokuskan kepada penanganan kasus pandemi covid-19. Akibatnya, puskesmas-puskesmas yang biasanya secara aktif menemukan kasus kusta di daerah menjadi tersendat sehingga grafiknya cenderung menurun. Dengan kata lain, menurunnya kasus kusta di tahun 2021 bukan karena benar-benar telah tereliminasi, melainkan karena kasusnya tidak terlacak.[3] Di samping masalah infrastruktur kesehatan yang difokuskan kepada penanganan pandemi, saya juga menemukan informasi bahwa ada penyandang kusta maupun OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) yang harus bersusah-susah mengurus sistem rujukan BPJS yang semakin rumit untuk keperluan pengobatan. Selain itu, banyak OYPMK yang notabenenya telah menjadi penyandang disabilitas mengalami kesulitan secara ekonomi, psikis, maupun perawatan.[4]

            Segelintir data tersebut sebenarnya hendak menunjukkan realita bahwa di masa pandemi ini, para penyandang kusta telah mengalami marginalisasi. Letak permasalahannya pertama-tama bukan pada fasilitas kesehatannya, melainkan pada soal pemahaman lama tentang kusta atau stigma yang telah membutakan kepedulian masyarakat maupun orang-orang terdekat penyandang kusta sehingga membuat mereka cenderung enggan untuk mengupayakan tindakan terbaik demi kesembuhan para penyandang kusta. Bahkan, dalam cuitan podcast SUKA yang saya dengar, masih ada penyandang kusta yang takut berobat karena takut terpapar virus Covid-19. Perasaan takut terpapar virus tidaklah salah, karena toh kita semua juga takut terhadap hal itu. Namun, saya secara pribadi menyadari sesuatu yang penting, yaitu bahwa seolah-olah penyandang kusta dan OYMPK dibiarkan untuk berusaha dan berjuang sendiri. Padahal, bila mereka berjuang bersama dengan orang lain yang empatik terhadap kondisi mereka, barangkali secara psikis, mereka bisa memperoleh semangat sekaligus penguatan. Inilah yang saya pahami mengenai gagasan tentang penanganan kusta yang kolaboratif. Akan tetapi, pertanyaan saya, bagaimana mau kolaboratif jika masih banyak orang yang tidak peduli dengan kasus kusta atau bahkan menganggap enteng persoalan kusta sebagai sesuatu yang tidak terlalu urgen karena scope kasusnya tidak sebesar dan seluas pandemi covid-19?   

III. Mendengar Suara Marginal: Upaya mengaktualisasikan kasus Kusta guna Meningkatkan Kepedulian dan Solidaritas

            Terhadap pertanyaan tersebut, saya menawarkan sebuah gagasan tentang bagaimana kita bisa mengaktualisasikan kasus kusta di Indonesia sehingga meskipun di tengah-tengah situasi pandemi, persoalan kusta tidak dipandang sebelah mata. Mengaktualisasikan kasus kusta berarti kita berupaya untuk menjadikan kasus kusta sebagai sebuah peristiwa yang benar-benar nyata, memiliki urgensi, serta patut mendapatkan perhatian yang optimal dari segi penanganan. Agar dapat mengaktualisasikan kasus kusta, pertama-tama kita perlu merekonstruksi pandangan lama kita terhadap penyandang kusta guna menyingkirkan stigma terhadap mereka.[5] Bagaimana caranya? Caranya sudah saya sampaikan di bagian pendahuluan. Kita hanya memerlukan rasa kepedulian untuk mencari tahu lebih banyak mengenai pemahaman-pemahanan baru tentang kusta sehingga dapat meng-update pengetahuan kita tentangnya. Jangan menunggu ada orang-orang terdekat kita yang terkena kusta dulu baru kita mencari tahu, tetapi mulailah dari sekarang untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang kusta, cara penanganannya, serta cara pengobatannya. Dengan begitu, kita akan bisa menjadi lebih peka dan solider terhadap para penyandang kusta. Di samping itu, kita juga sekaligus dapat menggerakan kualitas literasi masyarakat tentang kusta melalui proses-proses edukasi di mulai dari dalam lingkungan keluarga.

            Yang kedua, saya merasa gembira setelah menemukan surat edaran dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2020 yang mana di dalamnya mengatur tentang pelaksanaan dan pengendalian penyakit kusta dalam situasi pandemi covid-19. Di sana tercantum 10 poin yang intinya memperlihatkan strategi pemerintah dalam menanggulangi masalah kusta di masa pandemi secara optimal. Salah satu strategi, misalnya memfasilitasi penyandang kusta, OYPMK, dan keluarga mereka untuk mendapatkan informasi tentang perlindungan dari infeksi covid-19 dengan cara membentuk grup komunikasi melalui dukungan teman sebaya. Dengan mendukung pelaksaaan strategi pemerintah yang mencoba untuk pro terhadap situasi penyandang kusta di tengah-tengah masa pandemi, sebenarnya kita sudah berkontribusi positif dalam rangka mengaktualisasikan kasus kusta yang terjadi di sekitar kita. konkretnya, kita bisa mengusulkan agar pemerintah bisa mendorong penggunaan teknologi untuk melakukan survey daring sehingga proses pelacakan kasus tetap bisa berjalan sekalipun situasinya minim interaksi langsung. Solusi yang ketiga, sekaligus yang terakhir, ialah marilah kita memberikan “telinga” kepada suara para penyandang kusta maupun OYPMK. Saya menyadari betul bahwa mungkin ada di antara kita yang meskipun sudah mempunyai pemahaman yang baru tentang kusta, tetapi masih juga dipengaruhi oleh pemahaman lama sehingga kita masih ragu-ragu atau bahkan takut berinteraksi dengan para penyandang kusta maupun OYPMK. Saya pun merasa demikian. Namun, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak kita untuk setidaknya mari membuka hati, mata, dan telinga bagi mereka yang termarginalkan ini sehingga minimal mereka tidak merasa sendirian dalam menghadapi kondisi yang ada. Kita mungkin tidak dapat berbuat banyak bagi mereka, namun ingatlah bahwa dengan melakukan sesuatu yang kecil saja, tetapi dengan rasa kepedulian yang besar, kita sudah memerdekakan mereka dari perasaan termarginalkan. Mumpung hari ini tepat 76 tahun Indonesia Merdeka. Sekian.

IV. Referensi

antaranews.com. “Infografik Kasus Kusta Di Indonesia.” Antara News. Accessed August 17, 2021. https://www.antaranews.com/infografik/1968036/kasus-kusta-di-indonesia.

Cristy Pane, Merry Dame. “Kusta.” Alodokter, April 30, 2020. https://www.alodokter.com/kusta.

Nuh, Kantor Berita. “Tantangan Penanggulangan Kusta di tengah Pandemi Covid-19.” kbr.id. Accessed August 17, 2021. https://kbr.id/ragam/05-2021/tantangan_penanggulangan_kusta_di_tengah_pandemi_covid_19/105329.html.

Prasasti, Giovani Dio. “Kemenkes: Total 16.704 Kasus Kusta di Indonesia, Masih Ada Penularan pada Anak.” liputan6.com, January 30, 2021. https://www.liputan6.com/health/read/4470102/kemenkes-total-16704-kasus-kusta-di-indonesia-masih-ada-penularan-pada-anak.

Puspa, Atalya. “Pananganan Kusta Hadapi Tantangan di Tengah Pandemi Covid-19,” May 28, 2020. https://mediaindonesia.com/humaniora/316577/pananganan-kusta-hadapi-tantangan-di-tengah-pandemi-covid-19.

Surat Edaran Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2020, nomor: HK.02.02/5/3834/2020.

Podcast SUKA, bit.ly/PodcastSUKA-NLRxKBR.

 

       

 

                  

 



[1] antaranews.com, “Infografik Kasus Kusta Di Indonesia,” Antara News, accessed August 17, 2021, https://www.antaranews.com/infografik/1968036/kasus-kusta-di-indonesia.

[2] Merry Dame Cristy Pane, “Kusta,” Alodokter, April 30, 2020, https://www.alodokter.com/kusta., Akses: 17 Agustus 2021

[3] Giovani Dio Prasasti, “Kemenkes: Total 16.704 Kasus Kusta di Indonesia, Masih Ada Penularan pada Anak,” liputan6.com, January 30, 2021, https://www.liputan6.com/health/read/4470102/kemenkes-total-16704-kasus-kusta-di-indonesia-masih-ada-penularan-pada-anak.

[4] Atalya Puspa, “Pananganan Kusta Hadapi Tantangan di Tengah Pandemi Covid-19,” May 28, 2020, https://mediaindonesia.com/humaniora/316577/pananganan-kusta-hadapi-tantangan-di-tengah-pandemi-covid-19.

[5] Kantor Berita Nuh, “Tantangan Penanggulangan Kusta di tengah Pandemi Covid-19,” kbr.id, accessed August 17, 2021, https://kbr.id/ragam/05-2021/tantangan_penanggulangan_kusta_di_tengah_pandemi_covid_19/105329.html.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

EKSPOSISI KITAB LUKAS 7: 36--50

KAPASITAS SEORANG PELAYAN

Allah menciptakan ragam bahasa