Allah menciptakan ragam bahasa



Bahasa adalah Anugerah Allah
Kejadian 11: 1-9
Hal yang paling hakiki dalam hidup manusia adalah bahasa. Pendekatan yang paling rasional dari bahasa adalah sesuatu yang sangat dekat dengan diri manusia bahkan sedekat napas hidup manusia itu sendiri. Secara praktis, bahasa digunakan sebagai media penyalur isi pikiran dalam konteks berkomunikasi─tak lepas dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial─Sehingga bahasa merupakan unsur penting untuk menghubungkan pikiran satu individu dengan individu lain, atau satu individu kepada satu komunitas atau komunitas kepada komunitas lain. Itulah yang menjadi dasar mengapa bahasa begitu penting bagi kehidupan manusia, karena tanpa bahasa manusia ibarat sebuah mayat hidup.
Secara umum, bahasa yang ada di dunia ini sangat beragam mulai dari jenis, corak budaya dan fungsi sehingga jumlah bahasa yang ada di dunia saat ini terbilang sangat banyak. Secara lebih khusus misalnya di Indonesia, jumlah bahasanya mencapai angka 400an lebih yang mencakup bahasa daerah dari setiap provinsi dan suku, bahasa tubuh dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Jika di Indonesia saja sudah terdapat begitu banyak bahasa, bagaimana dengan negara-negara lain yang ada di dunia? Tentunya sangat banyak dan beragam.
Sebuah fakta yang tak dapat dipungkiri adalah bahasa merupakan salah satu wujud dari budaya. Kita harus konsisten mengatakan bahwa jika bahasa begitu melekat dalam hidup seseorang, maka demikian pula bahasa telah berbudaya dalam hidup seseorang. Jika bahasa merupakan bagian dari budaya maka bahasa tentunya juga mempunyai dinamika karena pada prinsipnya, budaya bergerak secara dinamis dari waktu ke waktu, dan bergerak secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Artinya bahasa tidak selamanya dapat abadi, bahkan suatu bahasa dapat hilang jika tidak dibudayakan bahkan mungkin dilupakan. Oleh karena itu, suatu bahasa perlu untuk terus dilestarikan, dan seharusnya visi itu menjadi visi bersama bukan saja hanya menjadi visi pemerintah atau pihak-pihak tertentu.
Dari sudut pandang Alkitab, awal mula munculnya bahasa dimulai sejak kisah penciptaan yang mana saat Allah menciptakan sesuatu, Allah memulainya dengan “Berfirman” ( Kej 1: 3, Kej 1:6, Kej 1: 11, dst.) . Kata “berfirman” menunjukkan adanya penggunaan bahasa secara khusus dari suatu pribadi (Allah) untuk menjadikan suatu obyek ciptaan. Artinya dimulai dari bahasa maka semua yang ada dialam ini pun jadi. Berangkat dari kisah penciptaan, dalam sejarah yang panjang, manusia mulai mengembangkan penggunaan bahasa, dengan semakin kuatnya intensitas pikiran dan kemajuan peradaban, maka manusia mulai menerapkan bahasa sebagai penghubung dan pemersatu dalam interaksi komunitas dengan skala yang besar.
Hal itu dapat kita lihat dari pembacaan berdasarkan Kejadian 11: 1-9, di bawah perikop Menara Babel ini. Pada ayat yang ke pertama, dikatakan bahwa “Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya”. Pada ayat ini, kita dapat melihat secara jelas, bahwa penggunaan bahasa telah berlaku secara komunal dengan skala yang besar yaitu mencakup seluruh manusia yang ada di bumi. Kita tidak boleh membayangkan jika jumlah manusia yang ada di bumi pada saat itu sama dengan jumlah manusia yang ada di bumi sekarang ini. Jelas bahwa jumlah manusia yang ada pada saat itu tidak sebanyak manusia sekarang, sehingga logis kalau kita melihat fakta pada ayat ini bahwa mereka hidup bersatu dalam sebuah komunitas. Ada hal lain yang perlu juga kita perhatikan dari ayat ini, yaitu pada klausa “Satu bahasanya” dan “satu logatnya” . Kedua klausa ini mengindikasikan bahwa kumpulan manusia dari seluruh dunia ini telah memahami dengan baik fungsi sebuah bahasa dan membudayakan bahasa itu menjadi bahasa yang merupakan ciri khas dan unsur penting dalam komunitas mereka. Selain itu, klausa ini juga memberikan kepada kita bahwa kelompok manusia pada saat itu telah berkembang pikirannya dan akal budinya.
Pada ayat yang ke-2, kita melihat kemajuan peradaban yang mulai dikembangkan oleh para kelompok manusia ini. Mereka memulai dari mencari tempat untuk menetap. Artinya mulai ada sebuah inovasi/ ide yang lahir dari pemikiran para kelompok manusia ini untuk membangun sebuah peradaban yang sifatnya menetap sehingga mereka tak perlu lagi mengembara dan hidup dengan tidak menetap.
pada ayat ke-3 dan ke-4 ini, kita melihat adanya teknologi yang telah diterapkan oleh kelompok manusia tersebut. Mari kita perhatikan teks pada ayat 3 “ Mereka berkata seorang kepada yang lain: “ Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik”. Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan ter gala-gala sebagai tanah liat”. Jika kita memperhatikan frasa yang telah saya garisbawahi, kita melihat bahwa kelompok manusia ini telah menerapkan sebuah teknologi sederhana untuk membuat sesuatu. Kalau awalnya mereka dapat menguasai dan memahami bahasa, maka dari pengertian akan bahasa itu, mereka mulai merealisasikannya menjadi sebuah teknologi. Teknologi berarti berbicara mengenai metode atau cara (definisi KBBI) yang diterapkan untuk memperoleh suatu tujuan praktis yang dapat digunakan dalam menunjang kehidupan. Dalam hal ini, kelompok manusia tersebut memanfaatkan batu bata dan ter sebagai bahan baku tanah liat yang kemudian bahan-bahan ini di bentuk dan diolah menjadi sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit (gaya bahasa yang mengungkapkan suatu ketinggian yang amat tinggi, ayat 4) sebagai lambang persatuan juga sebagai simbol kemajuan pola pikir dan peradaban mereka pada saat itu. Sungguh sebuah realita yang sangat mencengangkan bahwa manusia mulai menemukan cara untuk dapat “menaklukan bumi” sesuai dengan yang telah diamanatkan kepada manusia ( Kej. 1: 28).
Pada ayat yang ke-6 hingga ayat yang ke-7, kita menemukan sebuah realita bahwa TUHAN bertindak langsung sebagai respon atas kegiatan yang di lakukan oleh kelompok manusia ini sehingga terjadilah sebuah kejadian paling bersejarah dimana ide multikultural pertama kali muncul di dunia. Perhatikan ayat ke -7 : “ Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.”
Kita melihat bahwa Allah turun dan mengacaubalaukan bahasa mereka. Kata “mengacaubalaukan” harus dipahami sebagai tindakan Allah memecah bahasa mereka yang semula satu menjadi beragam sehingga mereka masing-masing tidak dapat mengerti bahasa masing-masing. Tidak dapat dipastikan jenis bahasa apa yang muncul saat kejadian ini muncul, tetapi yang pasti bahwa mereka saling berbicara dengan bahasa yang berbeda sehingga bahasa itu kedengaran asing di telinga mereka masing-masing. Kejadian seperti ini dapat muncul sebagai akibat dari penyimpangan tujuan yang dilakukan oleh kelompok manusia ini. Rupanya Allah mengetahui  tujuan mereka yang sebenarnya (ayat 6) untuk mendirikan menara yang amat tinggi itu, yaitu, agar menara itu dapat di pamerkan dan tidak menutup kemungkinan bahwa menara itu sangat diagung-agungkan atau bahkan mungkin juga disembah oleh mereka. Hal ini dapat dipahami karena seiring dengan kemajuan pola pikir,  bukan hal yang tidak mungkin bahwa telah lahir sebuah sistem kepercayaan sebagai pemenuhan atas pencapaian mereka. Hal lain yang dapat disoroti dari peristiwa pada ayat ini adalah ide multikultural. Tak dapat dipungkiri memang bahwa peristiwa menara babel ini merupakan kisah yang memunculkan ide multikulural yang paling tua, bahkan dapat digadang sebagai asal mula lahirnya ide multikultural. Sewaktu Allah mengacaubalaukan bahasa mereka, bahasa mereka kemudian tidak lagi satu tetapi menjadi beragam, artinya bahwa telah muncul perbedaan dari segi bahasa dan hal itu merupakan sebuah konsekuensi logis yang harus mereka terima sebagai buah dari tujuan mereka. Hidup dalam perbedaan tentunya bukan hal yang mudah, namun mesti diingat bahwa dalam perbedaan ada intervensi Tuhan sehingga perbedaan itu bukan sebuah kutukan melainkan adalah berkat untuk kita manusia dan khususnya bagi kelompok manusia pada zaman itu.
Pada ayat yang ke-8 Kita melihat sebuah realita bahwa Ide multikultural makin berkembang dan makin menjalar ke seluruh Dunia hingga sekarang, kita hidup sebagai masyarakat yang pluralistik. Karena itu Sikap toleran menjadi hal yang amat penting sebagai landasan dan juga pijakan untuk melangkah di tengah keberagaman.
Dari Kisah Tentang menara Babel ini, ada beberapa hal yang perlu kita renungkan dan refleksikan dalam kehidupan ini.
1. Bahasa adalah Anugerah Allah
Bahasa menghubungkan dan menyatukan seorang kepada yang lain,demikian halnya dengan hubungan antara manusia dan Allah yang dijembatani oleh bahasa. Tanpa bahasa tidak ada pengetahuan dan tanpa pengetahuan tidak akan ada pengenalan kepada Allah (Amsal 2 : 5). Karena itu, bahasa adalah salah satu anugerah istimewa yang Allah berikan bagi kita. Bersyukurlah untuk itu.
2. Bahasa mempunyai daya untuk mempengaruhi
Dalam bacaan hari ini, kita mampu melihat dengan jelas betapa berpengaruhnya sebuah bahasa. Bahasa mampu mempersatukan kelompok manusia dari seluruh bumi (ayat 1), itu berarti bahwa bahasa mempunyai sebuah kekuatan yang mampu memberi dampak bagi orang yang menggunakannya ataupun bagi orang lain. Mari kita perhatikan Yakobus pasal 3 : 4-5
“Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak juru mudi 5) “Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar.”  Penulis kitab Yakobus menyadari betapa berkuasanya sebuah bahasa. Penulis ingin menggambarkan penggunaan bahasa dengan sesuatu yang lebih hakiki yaitu lidah. Dari lidah keluar kata-kata dan dari kata-kata terangkailah sebuah bahasa, penulis juga ingin menegaskan bahwa meskipun lidah itu kecil namun ia dapat mengendalikan sesuatu, itu artinya produk dari lidah juga mempunyai daya untuk memengaruhi sesuatu. Oleh karena itu, marilah kita mencoba untuk mewaspadai kenyataan ini dengan sebuah kesadaran bahwa setiap kata-kata yang keluar dari lidah dapa memberi dampak dan mengendalikan, maka untuk itu kita perlu untuk menakar atau menimbang setiap kata yang keluar dari mulut kita, apakah itu membangun dan menguatkan, ataukah hanya menjatuhkan dan mengutuk. Lalu bagaimana kita dapat menimbang dengan baik kata-kata yang kita keluarkan? Perlu kita ingat bahwa jika kita ingin mengukur sesuatu maka kita membutuhkan sebuah standar ukur, Sama seperti dengan kata-kata yang akan kita ukur, kita perlu standar dan standar yang paling tepat adalah Firman Allah, karena Firman Allah adalah sumber kehidupan dan standar yang paling sempurna ( Matius 4: 4)
3. Bahasa adalah cermin diri, hati dan pikiran.
Sebuah etnis dikenal dari bahasa yang digunakannya, demikian pula dengan identitas sseorang yang dapat kita indentifikasi dari penggunaan bahasanya. Jika bahasa yang digunakan begitu membangun dan menguatkan maka sudah pasti bahwa orang itu mempunyai Kepribadian yang peduli terhadap kondisi orang lain, demikian pula dengan orang yang sehari-hari hanya mengeluarkan bahasa yang kasar, makian dan bahkan kutukan, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut memiliki kepribadian yang buruk dan budaya yang buruk. Pada hakikatnya, bahasa yang kita keluarkan merupakan buah dari hati dan pikiran, Jika hati kita sedang buruk maka kata-kata yang keluar juga buruk, sebaliknya jika pikran dan hati kita sedang jernih maka kata-kata yang dikeluarkan juga sangat menenangkan dan menyejukkan. Salomo dalam amsalnya mengatakan “ Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Hati merupakan pusat dari segala tindakan manusia, karena itu jagalah hati kita karena apa yang keluar dari hati akan menentukan sebuah perubahan yang mengarah ke arah yang lebih baik atau sebaliknya. Jagalah hatimu agar bahasa yang digunakan juga dapat membangun dan bukan malah mengutuk.
AMIN

Bahasa adalah lentera kehidupan, apakah bahasa yang keluar dapat menerangi hidupmu atau malah menggelapkannya.”
Ardy zacharias

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EKSPOSISI KITAB LUKAS 7: 36--50

KAPASITAS SEORANG PELAYAN