ECCLESIA REFORMATA
“Kritik
Yesus Terhadap Kaum legalis dan Dampaknya bagi Transformasi Gereja”
(Sebuah
sentilan terhadap kelegalitasan gereja dan solusi kritis Yesus)
Triardi
Samuel Zacharias
Jurusan Teologi,
Fakultas Teologi
Universitas Kristen
Duta Wacana
Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo
5-25, Yogyakarta
Abstraksi
Hakikat
gereja sebagai sebuah lembaga, membutuhkan penataan yang bersumber dari
peraturan-peraturan mengikat. Dengan kata lain, gereja memberlakukan
peraturan-peraturan tersebut sebagai acuan dalam menwujudnyatakan pelayanan
misi Allah yang integratif dan akuntabel. Namun, kerapkali, gereja terjebak
dalam sebuah situasi ketertundukkan yang berlebihan terhadap
peraturan-peraturan tersebut sehingga menutup ruang bagi adanya transformasi.
Hal ini mengakibatkan gereja menjadi kaku dan monoton. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah perspektif lain untuk melepaskan batas-batas legalitas yang
selama ini merongrong esensi gereja. Sejalan dengan problem tersebut, hal
serupa dapat kita lihat dari konteks kehidupan sosio-religius masyarakat Yahudi
pada zaman Yesus. Yesus harus berhadapan
dengan kelompok-kelompok Yudaisme yang sangat legalis. Bagi mereka, peraturan
adalah segalanya karena dipandang sebagai tolok ukur kesempurnaan hidup. Tidak
jarang, mereka lebih mengutamakan peraturan daripada dorongan nurani dan moral.
Yesus sebagai pemuda yang tahu betul konteks zaman-Nya, mencoba untuk membuat
sebuah terobosan transformatif yang agaknya menggelitik para kelompok-kelompok
legalis tersebut. Dalam rangka mencari perspektif lain yang sekiranya dapat
merekonstruksi posisi gereja sebagai lembaga yang hanya berorientasi pada
peraturan, maka kritik Yesus terhadap para tokoh legalis ini mesti menjadi
pertimbangan berharga. Kritik Yesus ini akan digali secara Intratekstual dan
ekstratekstual. Gereja harus menjadi alat Tuhan yang tidak hanya berorientasi
kepada peraturan-peraturan, tetapi juga mampu menimbang moralitas, nurani,
kasih dan kehendak Allah guna menjalankan misi pelayanannya.
PENDAHULUAN
Konteks Indonesia sebagai negara hukum
meletakkan tumpuan pada upaya penegakkan dan perlindungan hukum. Hakikat
Indonesia sebagai negara hukum juga dijiwai oleh semangat nasionalisme tatkala
hukum dihayati sebagai ujung tombak pembangunan yang integratif. Hal ini menempatkan
hukum di posisi yang paling utama dalam menangani setiap persoalan. Adapun
hukum, yakni peraturan turut menjadi bagian dari sendi komponen-komponen
negara, terkhusunya gereja. Gereja sebagai sebuah lembaga membutuhkan penataan
yang baik dan sistematis.
Meskipun,
dalam perspektif yang lain, gereja dilihat sebagai komunitas orang-orang yang
percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, gereja tetap membutuhkan peraturan sebagai
pedoman dalam menata pelayanan, mengatur hal-hal teknis dan mengontrol sistem administratif.
Namun, realitas menunjukkan adanya ketimpangan aktualisasi peraturan dalam
gereja. Peraturan yang padat dan kompleks membuat gereja menjadi terhambat dan
cenderung eksklusif terhadap perubahan.
Tidak
hanya para pengurus dan pelayan gereja yang harus mengalami hambatan dalam
mengeksplorasi ide dan kreatifitasnya dalam pelayanan, tetapi juga Jemaat
seringkali terkena imbas dari ketatnya peraturan-peraturan gerejawi yang ada.
Akibatnya, kualitas pelayanan gereja mengalami degradasi dan tugas gereja dalam
memberikan makna semakin tergerus. Ketika melihat kondisi gereja sekarang ini,
saya seperti diseret kembali ke zaman Yesus dengan konteks sosio-religius yang
penuh dengan peraturan dan pantangan. Sikap Yesus terhadap kelompok-kelompok
Yudaisme legalis, memercikkan kritik-kritik yang reformatif. Kritik-kritik inilah
yang akan saya angkat ke permukaan guna memecahkan persoalan gereja dalam
memberlakukan peraturan-peraturan sebagai otoritas tertinggi sehingga harapan
saya, polemik ini tidak lagi mengganggu produktivitas gereja sebagai Alat Tuhan
dalam menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di dunia. Gereja harus menjadi
gereja yang cair, proporsional, dan bertransformatif.
METODE PENELITIAN
Dalam tulisan ini, saya menggunakan dua metode, yakni Metode studi
pustaka dan metode tafsir naratif-kritis. Untuk metode pertama, saya akan
memfokuskan kepada sumber-sumber literasi yang merujuk kepada definisi dan
pembahasan mengenai hakikat hukum, legalitas, moralitas, dan pengaplikasiannya.
Sedangkan untuk metode kedua, saya memakainya sebagai lensa dalam membaca teks
Matius 12 : 1-14. Metode naratif-kritis, dalam pengembangannya, terbagi menjadi
dua macam kajian, yaitu kajian Intrinsik (Intratekstual) dan kajian ekstrinsik
(Ekstratekstual).
Kajian Intrinsik akan mengulas tokoh-tokoh yang berperan, konflik,
latar cerita serta pesan apa yang ingin disampaikan penulis teks Matius pasal
12 tersebut. Sedangkan, kajian ekstrinsik, akan memfokuskan kepada ideologi
penulis beserta konteksnya. Terlebih dahulu, saya akan menggunakan metode kedua
untuk menafsirkan teks Matius 12, setelah itu, saya akan mencoba untuk mengolah
pesan dari teks tersebut dan merelevansikannya dengan masalah utama. Dalam
tahap perelevansian ini, barulah saya menggunakan metode studi pustaka untuk menguatkan argumentasi saya mengenai
kritik Yesus serta solusi yang akan saya tawarkan bagi permasalahan gereja.
KATA KUNCI : Gereja yang transformatif, hakikat hukum dan legalitas, moralitas,
naratif-kritis, dan kritik Yesus.
PEMBAHASAN
Matius 12 (TB-LAI)
1. Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum.
Karena lapar, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya.2. Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepada-Nya:
"Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada
hari Sabat."3. Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Tidakkah kamu baca apa
yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar,4. bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan
roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang
mengikutinya, kecuali oleh imam-imam?5. Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari
Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah?6. Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah.7. Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki
ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang
yang tidak bersalah.8. Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat."9. Setelah pergi dari sana, Yesus masuk ke rumah ibadat mereka.10. Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya. Mereka bertanya
kepada-Nya: "Bolehkah menyembuhkan orang pada hari Sabat?" Maksud
mereka ialah supaya dapat mempersalahkan Dia.11. Tetapi Yesus berkata kepada mereka: "Jika seorang dari antara
kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada hari
Sabat, tidakkah ia akan menangkapnya dan mengeluarkannya?12. Bukankah manusia jauh lebih berharga dari pada domba? Karena itu
boleh berbuat baik pada hari Sabat."13. Lalu kata Yesus kepada orang itu: "Ulurkanlah tanganmu!"
Dan ia mengulurkannya, maka pulihlah tangannya itu, dan menjadi sehat seperti
tangannya yang lain.14. Lalu keluarlah orang-orang Farisi itu dan bersekongkol untuk
membunuh Dia.
Ø Pandangan Matius terhadap sosok
Yesus
Ketika membaca
kitab Injil Matius, ada kesan bahwa Kitab ini ditulis dengan begitu rinci,
teliti dan sistematis. Hal ini ditunjukkan dengan cantuman silsilah Yesus yang
mendahului peristiwa kelahiran-Nya. Silsilah menunjukkan adanya maksud tertentu
dari penulis.
Entah Penulis ingin memberikan informasi yang lebih mendetail
tentang tokoh yang akan dia bahas atau mungkin penulis mempunyai maksud
tertentu. Menariknya, Penulisan silsilah Yesus dibagi ke dalam tiga babak yang
mana masing-masing babaknya terdiri dari 14 generasi (Mat. 1 : 17). Berangkat
dari fakta ini, maka saya berasumsi bahwa Matius mungkin seorang penulis yang
teliti dan sistematis. Selain itu, jika kita membaca Injil Matius dengan cermat
maka kita akan dapat melihat pola-pola yang sangat teratur terkhususnya
mengenai kronologi peristiwa. Jarang sekali kita melihat adanya lompatan
cerita. Menurut Wismoady, Matius menyusun ceritanya berdasarkan tema-tema
tertentu seperti Mujizat, Perumpamaan dan ajaran dari Yesus sendiri (Wahono,
372).
Jika memang
demikian, Maka posisi teks kita saat ini, berada di antara jajaran kisah
mujizat yang dilakukan oleh Yesus. Perikop kedua dari bacaan kita menunjukkan
hal itu (ayat 9-15a). Namun, Pada perikop yang pertama, sama sekali tidak
berbicara mengenai Mujizat yang dilakukan oleh Yesus. Perikop yang pertama
memuat peristiwa yang dialami oleh Yesus dan murid-murid-Nya di ladang gandum,
sedangkan pada perikop kedua, terjadi sebuah mujizat di rumah ibadah yang dilakukan oleh Yesus kepada seorang yang
mati sebelah tangannya. Menariknya, kedua peristiwa ini sama-sama terjadi pada
hari sabat!
Ada apa dengan hari sabat? Dalam tradisi sejarah Yahudi, hari sabat merupakan hari yang dikhususkan oleh Allah sebagai hari perhentian sehingga pada hari itu, tidak boleh ada satu orang pun yang melakukan aktivitas atau pekerjaan (bdk. Kel. 20:10; Im. 23 : 32 ). Peraturan mengenai hari sabat kemudian dikembangkan oleh golongan Farisi ke dalam aturan-aturan yang lebih partikulat. Dari persoalan mengenai hari sabat yang ditonjolkan di dalam dua kisah ini maka terlihat jelas bahwa alam pikir Matius dipengaruhi juga oleh corak pikir keyahudian.
Ada apa dengan hari sabat? Dalam tradisi sejarah Yahudi, hari sabat merupakan hari yang dikhususkan oleh Allah sebagai hari perhentian sehingga pada hari itu, tidak boleh ada satu orang pun yang melakukan aktivitas atau pekerjaan (bdk. Kel. 20:10; Im. 23 : 32 ). Peraturan mengenai hari sabat kemudian dikembangkan oleh golongan Farisi ke dalam aturan-aturan yang lebih partikulat. Dari persoalan mengenai hari sabat yang ditonjolkan di dalam dua kisah ini maka terlihat jelas bahwa alam pikir Matius dipengaruhi juga oleh corak pikir keyahudian.
Kemungkinan
lain yang dapat kita temukan ialah dialog-dialog antara Yesus dan kelompok
agama Yahudi (Farisi) di kedua perikop ini. Mengenai percakapan Yesus dengan
kelompok Farisi tersebut, Wismoady memberikan sebuah kemungkinan yang menarik. Menurutnya,
Matius sengaja mengumpulkan ucapan-ucapan Yesus dan pengenaannya dengan konteks
pada saat itu.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa Kitab injil Matius menyerupai
sebuah buku pedoman berisi perintah-perintah injil, peraturan kehidupan
kristiani di gereja, dan sanksi bagi orang kristen yang tidak menjalankan
imannya. Dengan demikian, Wismoady menarik kesimpulan berdasarkan pendapat
orang yang mengatakan bahwa kitab injil Matius dibacakan di dalam Jemaat
(Wahono, 373). Saya sendiri agaknya setuju dengan pendapat Wismoady, tetapi
jika kita kembali mengacu pada teks, maka terdapat kesan yang kuat bahwa Yesus
sedang mengkritisi pernyataan kritik
dari Orang Farisi kepada para murid Yesus yang memakan bulir gandum. Nampaknya,
Matius ingin memunculkan suatu konflik mengenai peraturan Yahudi untuk
menonjolkan karakter Yesus yang kritis, mempunyai prinsip dan berani. Matius melihat Yesus
sebagai seorang tokoh yang penuh kharisma, cermat, dan mempunyai pengetahuan
keyahudian yang cukup mumpuni.
Ø Yesus Versus Hukum?
Pada kisah yang
pertama, Narator Matius memulai cerita dengan memberi petunjuk waktu terjadinya
peristiwa tersebut, yaitu pada hari
sabat. Setting tempatnya berada di ladang gandum. Masalah yang
dimunculkan pertama kali adalah para murid Yesus yang kelaparan sehingga mereka
memetik bulir gandum dan memakannya. Suasana konflik mulai terasa saat kelompok
agama yahudi (dalam teks disebut orang-orang Farisi) melihat peristiwa tersebut
lalu memberikan kritik dan penilaian terhadap apa yang dilakukan oleh para
murid Yesus. Kritik dan penilaian ini ditujukan kepada Yesus. Saya melihat
adanya kesan hakim menghakimi dari orang-orang Farisi terhadap apa yang
dilakukan oleh para murid Yesus, meskipun hal itu adalah sebuah realitas. Di
sinilah Narator ingin memunculkan ketegangan antara Yesus dan orang-orang
Farisi. Lewat pelanggaran para murid terhadap hukum sabat, narator ingin
memunculkan respons dari Yesus terhadap tuduhan kuat yang dilayangkan oleh
orang-orang Farisi tersebut kepada para murid-Nya.
Jika memang
orang-orang Farisi melihat tindakan para murid Yesus memakan bulir gandum pada
hari sabat sebagai sebuah pelanggaran terhadap hukum sabat, maka pertanyaannya,
apakah pada hari sabat orang dilarang untuk makan?
Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, alangkah baiknya, kita juga membandingkan informasi di injil sinoptik
lain yang paralel dengan kisah ini. Injil sinoptik yang saya pilih ialah Injil
Lukas dan kisah yang serupa terdapat di Lukas 6 : 1 : “ Pada suatu hari
Sabat, Ketika Yesus berjalan di ladang gandum, murid-murid-Nya memetik bulir
gandum dan memakannya, sementara mereka menggisarnya dengan
tangannya.”
Injil Lukas memberikan keterangan
yang lebih jelas mengenai apa yang dilakukan oleh para murid. Lukas menambahkan
bahwa mereka tidak hanya memakan bulir gandum pada hari sabat, tetapi mereka
juga menggisar bulir gandum tersebut dengan tangan mereka. Tentu hal ini
merupakan pekerjaan yang cukup menguras tenaga. Dan Para murid melakukannya
pada hari sabat. Padahal pada hari sabat, menurut ketentuan hukum taurat,
seseorang tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat.
Mungkin akan
timbul lagi pertanyaan, mengapa Matius tidak mencantumkan informasi penting
ini? bukankah Informasi ini akan semakin menguatkan kesan konflik antara Yesus
dan orang-orang Farisi? Kemungkinannya, Matius ingin agar pembaca memfokuskan
perhatian kepada tanggapan Yesus terkait kritik dan serangan dari orang-orang
Farisi tersebut. Dan karena itulah Matius langsung menampilkan tokoh Yesus yang
dengan segera tanggap menghadapi tuduhan orang-orang farisi. Yesus mengawali
tanggapannya dengan sebuah pertanyaan retorika tajam mengenai apa yang dilakukan
oleh Daud dan para pengikutnya ketika lapar. Yesus sekiranya tahu persis apa
yang dialami oleh Daud dan para pengikutnya sama dengan apa yang dialami oleh
murid-murid-Nya. Kalau para murid, karena lapar terpaksa memakan bulir gandum
pada hari sabat, maka Daud dan para muridnya masuk ke rumah ibadah dan memakan
roti sajian yang tidak boleh dimakan oleh siapapun, kecuali imam-imam. Yesus
membawa orang-orang Farisi kembali mengingat peristiwa yang melibatkan bapa
leluhur mereka, yakni Daud. Dengan mengacu pada sumber Intertesktual 1 Samuel
21 : 1-6, ketika Daud sampai di tanah Nob, ia bertemu dengan seorang Imam yang
bernama Ahimelek.
Daud lalu meminta roti kepada Ahimelek, namun pada saat itu tidak
ada roti. Yang ada hanyalah roti kudus, yakni roti sajian. Dengan beberapa
syarat, akhirnya Ahimelek pun memberikan kepada Daud sajian tersebut.
Rupanya, di sini
Yesus ingin memberikan sebuah pertimbangan. Yesus mungkin ingin mengatakan
kepada orang-orang Farisi yang menghakimi murid-murid-Nya bahwa sebelum kamu
menyalahkan murid-murid-Ku, lihatlah dahulu apa yang telah dilakukan oleh bapa
leluhur kita. Ia bahkan melakukan hal yang lebih parah dari apa yang telah
dilakukan oleh murid-murid-Ku. Ia mengambil sesuatu yang dikhususkan sebagai
persembahan untuk Allah. Lantas, mengapa Daud tidak dipersalahkan? Sedangkan
apa yang dilakukan oleh murid-murid-Ku yang tidak sebanding dengan apa yang
dilakukan oleh Daud, malah dipersalahkan? Yesus juga menambahkan sebuah
kenyataan bahwa imam-imam sendiri pun melanggar hari sabat di dalam Bait Allah,
tetapi mereka tidak dipersalahkan.
Yesus
memberikan serangan balik yang keras terhadap orang-orang Farisi yang menuntut
keadilan hukum atas apa yang dilakukan oleh para murid Yesus. Yesus berkata
kepada mereka bahwa di antara mereka ada yang melebihi Bait Allah. Di sini,
Yesus melontarkan sebuah kalimat yang ambigu. Dalam Terjemahan Baru LAI, subjek
dari kalimat Yesus ini tidak begitu Jelas, tetapi objeknya tercantum dengan
jelas, yaitu Bait Allah. Saya menduga bahwa Yesus memang tidak menyebut “Aku”
secara langsung, tetapi Orang-orang pada saat itu mengerti bahwa Yesus sedang
berbicara tentang diri-Nya. Perkataan Yesus ini tidak lepas dari perkataan-Nya
sebelumnya tentang Imam-Imam yang bekerja di dalam bait Allah. Jadi, Mungkin
Yesus ingin mengatakan bahwa jika imam-imam kepala yang bekerja dalam Bait
Allah tidak dihukum karena mereka lebih penting dari pada hukum sabat, maka
Yesus pun mau mengatakan bahwa kehadiran diri-Nya lebih penting daripada hukum
sabat yang tengah menjerat para murid-murid-Nya.
Sekali lagi,
Yesus kembali menyerang orang-orang Farisi dengan kritikan-Nya. Kali ini, Ia
menggunakan kutipan dari perkataan nabi Hosea (Hos. 6:6). Ia mengatakan kepada mereka bahwa yang Allah
kehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan. Yesus membuat sebuah
gebrakan di sini dengan menggunakan perkataan nabi Hosea. Ia mengatakan bahwa
Kemanusiaan lebih penting daripada peraturan. Kasih lebih penting dari pada
soal kewajiban untuk memberi. Di tambah lagi, Yesus menggugah hati mereka
dengan mengatakan bahwa tentu mereka tidak akan menghukum orang yang tidak
bersalah. Apa maksud dari perkataan ini? Rupanya, perkataan Yesus memberikan
jawaban kepada kita soal pertanyaan apakah makan pada hari sabat merupakan
sebuah pelanggaran. Ternyata, makan pada hari sabat bukanlah sebuah
pelanggaran. Makan adalah sebuah tindakan untuk mempertahankan hidup. Tentu hal
itu merupakan sebuah perbuatan baik. Dan berbuat baik diizinkan pada hari
sabat. Di bagian akhir kritikan-Nya, Yesus mengatakan bahwa Anak Manusia dalah
Tuhan atas hari sabat. Di bagian akhir kisah ini, narator menambahkan sebuah
pengakuan bahwa Yesus, sang Anak Manusia, memiliki kuasa atas hari sabat
sekali. Naartor matius juga tidak menunjukkan respons balik dari orang-orang
Farisi tersebut. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa memang Matius ingin
agar pembaca memfokuskan perhatian kepada perkataan serta kritikkan Yesus.
Berlanjut ke kisah
selanjutnya, Narator Matius melnjutkan ceritanya. Kali ini setting
tempatnya tidak lagi di ladang gandum, tetapi di Rumah ibadat atau sinagoge.
Ada satu tokoh baru yang ditambahkan ke dalam cerita ini, yaitu seorang yang
mati sebelah tangannya. Orang ini tidak disebutkan namanya sehingga unsur
anonimitas tokoh ini akan saya fokuskan kepada apa yang dialami olehnya dan
bagaimana narator menggunakan tokoh ini sebagai penyebab konflik. Pada kisah
ini, ketiga tokoh bertemu, yakni Yesus, Orang-orang Farisi, dan orang yang mati
sebelah tangannya. Pokok masalah masih sama seperti kisah sebelumnya, yaitu
mengenai hukum sabat yang juga dipersoalkan oleh orang-orang Farisi. Oleh
karena itu, narator Matius mengaitkan kedua kisah ini. Namun, ada sedikit
perbedaan pada warna konflik yang terjadi.
Dalam teks paralel injil Lukas, memaparkan tujuan Yesus datang ke
rumah ibadat untuk mengajar (Luk. 6 : 6). Sekali lagi, Matius tidak memberitahukan
informasi penting ini. Mungkin, Matius merasa bahwa tujuan Yesus datang ke
rumah ibadat tidak bergitu penting. Yang penting adalah lokasi dimana Yesus
berada, yakni di rumah ibadat. Orang-orang Farisi bertanya kepada Yesus apakah
diperbolehkan menyembuhkan orang pada hari sabat. Narasi menambahkan keterangan
bahwa tujuan mereka bertanya kepada Yesus adalah untuk dapat mempersalahkan
Yesus. Kondisi si orang yang mati sebelah tangannya ini dimanfaatkan oleh
orang-orang Farisi untuk menjebak Yesus. Strategi yang dimainkan oleh para
Farisi ini terbilang cukup rapih. Mereka saat itu sedang berada di dalam
Sinagoge. Itu artinya, Yesus bisa saja di jatuhi hukuman jika salah menjawab. Kemungkinan
Inilah yang dimaksudkan oleh narator Matius. Sinagoge menjadi tempat yang
meruncingkan ketegangan dalam kisah ini. Berbeda dengan dua injil sinoptik
lain, yakni Markus dan Lukas, ketegangan yang dibangun oleh Matius ialah
ketegangan dua arah dan terkesan lebih
hidup. Sedangkan pada injil Markus dan Lukas, seolah-olah Yesus tahu apa yang dipikiran
oleh orang-orang Farisi tersebut – tanpa ada pertanyaan dari orang-orang Farisi
- sehingga langsung memberikan
kritikkan. Untuk menjawab pertanyaan orang-orang Farisi, Yesus menggunakan
sebuah perumpamaan tentang seseorang yang mempunyai seekor domba dan domba
tersebut jatuh ke dalam lobang pada hari sabat. Ada apa dengan domba? Domba merupakan
hewan ternak yang istimewa pada saat itu. Yesus mengkondisikan jumlah domba
yang dimiliki oleh orang ini yaitu hanya seekor. Itu berarti, domba ini adalah
domba yang disayangi oleh tuannya. Karena disayangi oleh tuannya, maka domba
itu berharga bagi sang tuan. kalau domba ini jatuh ke dalam lobang, tentu saja
sang tuan akan menyelamatkan domba kesayangannya itu meskipun ia harus melakukannya
pada hari sabat. Yesus kemudian berkata bahwa manusia jauh lebih berharga
daripada domba. Jika domba saja diselamatkan, apalagi manusia? Oleh karena itu,
berbuat baik pada hari sabat diperbolehkan. Yesus sebenarnya ingin mengatakan
bahwa hukum taurat masih mempertimbangkan hati nurani dan bahkan hati nurani
manusia tidak bisa dibatasi oleh hukum taurat. Menyembuhkan orang adalah sebuah
perbuatan baik.
Oleh karena itu, jawaban Yesus jelas bahwa menyembuhkan orang pada
hari sabat diperbolehkan sehingga Ia pun menyembuhkan orang yang lumpuh sebelah
tangannya itu.
Klimaks konflik ini berujung pada persekongkolan orang-orang Farisi
untuk membunuh Yesus. Pada akhirnya, segala usaha orang-orang Farisi yang
legalis dipatahkan oleh Kritikkan Yesus yang penuh hikmat. Di tangan
orang-orang Farisi, hukum menjadi alat untuk menjatuhkan Yesus, tetapi Yesus
menujukkan bahwa hukum tidak bisa membatasi ruang hati nurani, kasih, dan karya
baik manusia. Yesus sama sekali tidak menentang hukum, sebaliknya, Ia sangat
menghargai hukum sehingga Ia merekonstruksi esensi hukum yang sebenarnya. Hukum
bukanlah diktator penggerus kebaikkan manusia, melainkan sebuah pedoman yang
membimbing orang menuju kebaikkan.
Ø
Relevansi
dan komitmen transformatif gereja
Hukum mempunyai
dimensi kajian yang sangat luas. Keluasan ini mengakibatkan hukum sangat sulit
didefinisikan. Hukum bukan lagi sesuatu yang abstrak, melainkan sebuah rumusan
rasional yang konkret dan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Menurut
Notohamidjojo yang di kutip oleh Theo, Hukum adalah pertama-tama penataan hidup
sosial (Huijbers, 39 dikutip dari Notohamidjojo, 15). Berdasarkan pengertian
ini, kata kunci yang akan saya gunakan terkait dengan relevansinya terhadap gereja
sebagai sebuah lembaga ialah soal penataan. Hakikat gereja sebagai sebuah
lembaga memang sangat memerlukan penataan. Penataan dipakai sebagai parameter
kuantitas pelayanan yang akuntabel. Gereja tanpa penataan akan kacau balau baik
secara kualitas maupun kuantitasnya. Karena gereja memerlukan pernataan, maka
itu berarti gereja memerlukan hukum dan peraturan. Agar dapat melihat hukum
secara lebih dalam dan lebih luas, maka hukum mesti dilihat dari dua segi,
yaitu segi Legalitas dan segi moralitas.
Yang pertama,
hukum dari segi legalitas. Hukum yang benar-bernar hukum adalah hukum yang sah
dan legal. Oleh karena itu, hukum adalah legalitas. Immanuel Kant memberikan
definisi mengenai legalitas.
Menurutnya, legalitas adalah
kesesuaian dan ketidaksesuaian perilaku terhadap ketentuan hukum tanpa
memperhatikan dorongan moral (Tjahjadi, 47). Oleh karena itu, legalitas
menekankan pada ketundukkan penuh terhadap hukum. Yang kedua, hukum dari segi
moralitas. Pada hakitkatnya, hukum tidak saja berupa perumusan rasional, tetapi juga berwujud moral. Hukum
dijadikan prinsip moral dalam mengatur interaksi sosial ke arah yang lebih
baik. Moral diartikan sebagai nilai atau dorongan batiniah. Imanuel Kant, juga
membuat definisi mengenai moralitas dengan terlebih dahulu membuat perbedaan
antara moralitas dan legalitas. Jika Legalitas adalah kesesuaian dan
ketidaksesuaian perilaku ketentuan hukum tanpa memperhatikan moral, maka
moralitas adalah kesesuaian dan ketidaksesuaian perilaku terhadap dorongan
batin atau norma tertentu (Tjahjadi, 47). Dari pengertian mengenai legalitas
dan moralitas, nampak bahwa ada dua dorongan yang berbeda diantara keduanya.
Namun, baik legalitas maupun moralitas tidak dapat disegregasikan. Jika ingin
melihat hukum secara utuh, maka kedua aspek ini perlu dilihat secara bersamaan.
Kembali ke
kisah Yesus melawan orang-orang Farisi, Yesus harus berhadapan dengan hukum
taurat. Hukum taurat merupakan sebuah hukum religius masyarakat Yahudi yang
sangat dihormati. Hukum taurat juga berisi peraturan-peraturan kecil yang
sangat ditaati oleh kelompok Farisi, sekaligus menjadi ukuran kesempurnaan
hidup. Oleh karena itu, hukum taurat identik dengan hukum keagamaan atau hukum
agama. Hukum agama berisi ajaran moral agama dengan standar yang tertinggi
sehingga seringkali hukum agama tidak memperhitungkan kondisi manusia di dunia
yang penuh dengan kelemahan, kesalahan dan dosa. Karena itu, seharusnya,
realitas hidup akan tercapai jika hukum dibuat lebih longgar daripada hukum
agama. (Huijbers, 89) Orang-orang Farisi telah membalurkan hukum taurat dengan
kelegalitasan hukum sehingga tidak lagi mempertimbangkan dorongan batiniah
manusia. Mereka sebagai orang-orang legalis yang membuat aturan, justru sama
sekali tidak melihat sisi kemanusiaan manusia yang penuh dengan kelemahan.
Mereka hanya fokus pada kesempurnaan hidup menurut moral agama. Di situasi
seperti inilah Yesus datang.
Ia datang sebagai pembela
kemanusiaan manusia di hadapan hukum, Ia datang dan menyeimbangkan ketimpangan
hukum yang hanya menekankan pada legalitas. Ia datang dan mempertegas bahwa
hukum yang ideal bukan hanya hukum yang memenuhi kaidah legalitas, tetapi juga
moralitas.
Peraturan
gereja seringkali membatasi gerak para pelayannya. Tidak hanya para pelayan,
pihak yang dilayani, yakni Jemaat juga tidak bisa dengan leluasa memberikan
kontribusinya bagi gereja. Hal ini disebabkan oleh tingginya standar aturan yang
ditetapkan oleh gereja. Realitas yang paling umum dijumpai yaitu pada saat
pemilihan pelayan gereja seperti penatua dan diaken. Kerapkali standar yang
ditetapkan oleh gereja kepada calon penatua dan diaken terbilang cukup tinggi.
Faktanya, ada calon yang dapat memenuhi kriteria yang diberikan, namun ada pula
yang tidak memenuhi kriteria padahal mampu, punya potensi yang mumpuni serta
komitman melayani yang matang. Keinginan mereka untuk melayani jemaat harus
kandas karena banyaknya peraturan dan kriteria. Selain itu, gereja juga
mempunyai peraturan-peraturan tertulis mengenai tata ibadah atau liturgi,
peraturan dalam menggunakan pakaian, bahkan terkadang pendeta pun dibatasi
ruang geraknya dalam berkhotbah. Akibatnya, banyak ide-ide kreatif jemaat yang
tidak dieksplor oleh gereja, pelayanan gereja yang semakin hari semakin kaku
dan monoton, serta kontekstualisasi kultural yang semakin memudar. Gereja
seharusnya menjadi Alat Tuhan dalam mewartakan berita keselamatan bagi mereka
yang ingin menjangkau-Nya. Untuk itu, Gereja perlu menyeimbangkan peraturan
yang ada dengan kebutuhan Jemaat. Peraturan bukanlah menjadi penghalang bagi
Jemaat untuk berkarya, melainkan Peraturan harus menjadi pedoman yang
mengarahkan Jemaat dalam mengembangkan karyanya. Seperti teladan Yesus yang
menyeimbangkan antara aspek legalitas dan moralitas dari hukum taurat, gereja
harus mempertimbangkan setiap peraturan yang dibuat, apakah itu sesuai dengan nilai
kasih dan moralitas jemaat, atau hanya sebuah peraturan demi kepentingan terntu
dan maksud tertentu. Selain itu, gereja harus berani untuk keluar dengan
semangat reformatif agar gereja mampu menjalankan misi Allah dengan bijaksana.
Peraturan-peraturan yang terlalu mengikat sebaiknya direvisi kembali demi
kualitas pelayanan yang lebih baik.
Seperti yesus, gereja tidak perlu
mengabaikan hukum, karena memang hukum penting, tetapi esensi gereja tidak
boleh dikuasai oleh hukum, dan sebaliknya, hukumlah yang harus dipakai oleh
gereja untuk berkarya dengan lebih optimal dan proporsional. Gereja membutuhkan
komitmen, dimulai dari pemimpin gereja sebagai teladan dan diikuti oleh seluruh
komponen gereja. Dengan demikian, gereja dapat menjadi lentera dalam
memancarkan cahaya kasih Allah kepada dunia.
PENUTUP
v Kesimpulan
Krtitik yesus
yang transformatif, hendaknya menjadi semangat gereja untuk bergerak maju.
Gereja harus berani keluar dari hiruk pikuk kelegalitasan hukum yang menghambat
tugas gereja dalam menjalankan misi Allah. Hukum perlu ada dan tidak boleh
diabaikan, tetapi hukum dan peraturan tersebut mesti diseimbangkan dengan hati
nurani dan kreatifitas jemaat. Peraturan gereja yang proporsional akan mempukan
gereja untuk melayani Tuhan dengan lebih optimal. Lebih daripada itu, hukum
kasih tetap menjadi dasar dari semua hukum dan peraturan gereja agar semua
komponen gereja mendapatkan makna dalam melayani Tuhan.
v Saran
Gereja tentunya
akan semakin berkembang. Seiring dengan perkembangan tersebut,
peraturan-peraturan gereja entah semakin direnggangkan ataukah mungkin semakin
kompleks, akan dikaji lebih lanjut dengan melihat variabel lain dari
peraturan-peraturan tersebut demi mendapatkan sebuah solusi yang lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Wahono, W. 2015. Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan
Mengajarkan Alkitab. Cet.18. Jakarta : Gunung Mulia.
Huijibers, Theo. Filsafat Hukum. Edisi ke-2. Yogyakarta:
Kanisius. 1990. Buku.
Tjahjadi, S.P.L. 1991. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang
Etika dan Imperatif Kategoris. Cet.1. Jakarta: Gunung Mulia.
Komentar
Posting Komentar