ECCLESIA REFORMATA

“Kritik Yesus Terhadap Kaum legalis dan Dampaknya bagi Transformasi Gereja”
(Sebuah sentilan terhadap kelegalitasan gereja dan solusi kritis Yesus)
Triardi Samuel Zacharias
                      Jurusan Teologi, Fakultas Teologi
                      Universitas Kristen Duta Wacana
                              Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo 5-25, Yogyakarta
                                           ardyzacharias05@gmail.com
                               Abstraksi
          Hakikat gereja sebagai sebuah lembaga, membutuhkan penataan yang bersumber dari peraturan-peraturan mengikat. Dengan kata lain, gereja memberlakukan peraturan-peraturan tersebut sebagai acuan dalam menwujudnyatakan pelayanan misi Allah yang integratif dan akuntabel. Namun, kerapkali, gereja terjebak dalam sebuah situasi ketertundukkan yang berlebihan terhadap peraturan-peraturan tersebut sehingga menutup ruang bagi adanya transformasi. Hal ini mengakibatkan gereja menjadi kaku dan monoton. Oleh karena itu, diperlukan sebuah perspektif lain untuk melepaskan batas-batas legalitas yang selama ini merongrong esensi gereja. Sejalan dengan problem tersebut, hal serupa dapat kita lihat dari konteks kehidupan sosio-religius masyarakat Yahudi pada  zaman Yesus. Yesus harus berhadapan dengan kelompok-kelompok Yudaisme yang sangat legalis. Bagi mereka, peraturan adalah segalanya karena dipandang sebagai tolok ukur kesempurnaan hidup. Tidak jarang, mereka lebih mengutamakan peraturan daripada dorongan nurani dan moral. Yesus sebagai pemuda yang tahu betul konteks zaman-Nya, mencoba untuk membuat sebuah terobosan transformatif yang agaknya menggelitik para kelompok-kelompok legalis tersebut. Dalam rangka mencari perspektif lain yang sekiranya dapat merekonstruksi posisi gereja sebagai lembaga yang hanya berorientasi pada peraturan, maka kritik Yesus terhadap para tokoh legalis ini mesti menjadi pertimbangan berharga. Kritik Yesus ini akan digali secara Intratekstual dan ekstratekstual. Gereja harus menjadi alat Tuhan yang tidak hanya berorientasi kepada peraturan-peraturan, tetapi juga mampu menimbang moralitas, nurani, kasih dan kehendak Allah guna menjalankan misi pelayanannya.
PENDAHULUAN
          Konteks Indonesia sebagai negara hukum meletakkan tumpuan pada upaya penegakkan dan perlindungan hukum. Hakikat Indonesia sebagai negara hukum juga dijiwai oleh semangat nasionalisme tatkala hukum dihayati sebagai ujung tombak pembangunan yang integratif. Hal ini menempatkan hukum di posisi yang paling utama dalam menangani setiap persoalan. Adapun hukum, yakni peraturan turut menjadi bagian dari sendi komponen-komponen negara, terkhusunya gereja. Gereja sebagai sebuah lembaga membutuhkan penataan yang baik dan sistematis.
Meskipun, dalam perspektif yang lain, gereja dilihat sebagai komunitas orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, gereja tetap membutuhkan peraturan sebagai pedoman dalam menata pelayanan, mengatur hal-hal teknis dan mengontrol sistem administratif. Namun, realitas menunjukkan adanya ketimpangan aktualisasi peraturan dalam gereja. Peraturan yang padat dan kompleks membuat gereja menjadi terhambat dan cenderung eksklusif terhadap perubahan.
Tidak hanya para pengurus dan pelayan gereja yang harus mengalami hambatan dalam mengeksplorasi ide dan kreatifitasnya dalam pelayanan, tetapi juga Jemaat seringkali terkena imbas dari ketatnya peraturan-peraturan gerejawi yang ada. Akibatnya, kualitas pelayanan gereja mengalami degradasi dan tugas gereja dalam memberikan makna semakin tergerus. Ketika melihat kondisi gereja sekarang ini, saya seperti diseret kembali ke zaman Yesus dengan konteks sosio-religius yang penuh dengan peraturan dan pantangan. Sikap Yesus terhadap kelompok-kelompok Yudaisme legalis, memercikkan kritik-kritik yang reformatif. Kritik-kritik inilah yang akan saya angkat ke permukaan guna memecahkan persoalan gereja dalam memberlakukan peraturan-peraturan sebagai otoritas tertinggi sehingga harapan saya, polemik ini tidak lagi mengganggu produktivitas gereja sebagai Alat Tuhan dalam menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di dunia. Gereja harus menjadi gereja yang cair, proporsional, dan bertransformatif.
METODE PENELITIAN
          Dalam tulisan ini, saya menggunakan dua metode, yakni Metode studi pustaka dan metode tafsir naratif-kritis. Untuk metode pertama, saya akan memfokuskan kepada sumber-sumber literasi yang merujuk kepada definisi dan pembahasan mengenai hakikat hukum, legalitas, moralitas, dan pengaplikasiannya. Sedangkan untuk metode kedua, saya memakainya sebagai lensa dalam membaca teks Matius 12 : 1-14. Metode naratif-kritis, dalam pengembangannya, terbagi menjadi dua macam kajian, yaitu kajian Intrinsik (Intratekstual) dan kajian ekstrinsik (Ekstratekstual).
Kajian Intrinsik akan mengulas tokoh-tokoh yang berperan, konflik, latar cerita serta pesan apa yang ingin disampaikan penulis teks Matius pasal 12 tersebut. Sedangkan, kajian ekstrinsik, akan memfokuskan kepada ideologi penulis beserta konteksnya. Terlebih dahulu, saya akan menggunakan metode kedua untuk menafsirkan teks Matius 12, setelah itu, saya akan mencoba untuk mengolah pesan dari teks tersebut dan merelevansikannya dengan masalah utama. Dalam tahap perelevansian ini, barulah saya menggunakan metode studi pustaka  untuk menguatkan argumentasi saya mengenai kritik Yesus serta solusi yang akan saya tawarkan bagi permasalahan gereja.
KATA KUNCI : Gereja yang transformatif, hakikat hukum dan legalitas, moralitas, naratif-kritis, dan kritik Yesus.
PEMBAHASAN
Matius 12 (TB-LAI)
1. Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya.2. Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepada-Nya: "Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat."3. Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar,4. bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam?5. Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah?6. Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah.7. Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah.8. Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat."9. Setelah pergi dari sana, Yesus masuk ke rumah ibadat mereka.10. Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya. Mereka bertanya kepada-Nya: "Bolehkah menyembuhkan orang pada hari Sabat?" Maksud mereka ialah supaya dapat mempersalahkan Dia.11. Tetapi Yesus berkata kepada mereka: "Jika seorang dari antara kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada hari Sabat, tidakkah ia akan menangkapnya dan mengeluarkannya?12. Bukankah manusia jauh lebih berharga dari pada domba? Karena itu boleh berbuat baik pada hari Sabat."13. Lalu kata Yesus kepada orang itu: "Ulurkanlah tanganmu!" Dan ia mengulurkannya, maka pulihlah tangannya itu, dan menjadi sehat seperti tangannya yang lain.14. Lalu keluarlah orang-orang Farisi itu dan bersekongkol untuk membunuh Dia.

Ø Pandangan Matius terhadap sosok Yesus
Ketika membaca kitab Injil Matius, ada kesan bahwa Kitab ini ditulis dengan begitu rinci, teliti dan sistematis. Hal ini ditunjukkan dengan cantuman silsilah Yesus yang mendahului peristiwa kelahiran-Nya. Silsilah menunjukkan adanya maksud tertentu dari penulis.
Entah Penulis ingin memberikan informasi yang lebih mendetail tentang tokoh yang akan dia bahas atau mungkin penulis mempunyai maksud tertentu. Menariknya, Penulisan silsilah Yesus dibagi ke dalam tiga babak yang mana masing-masing babaknya terdiri dari 14 generasi (Mat. 1 : 17). Berangkat dari fakta ini, maka saya berasumsi bahwa Matius mungkin seorang penulis yang teliti dan sistematis. Selain itu, jika kita membaca Injil Matius dengan cermat maka kita akan dapat melihat pola-pola yang sangat teratur terkhususnya mengenai kronologi peristiwa. Jarang sekali kita melihat adanya lompatan cerita. Menurut Wismoady, Matius menyusun ceritanya berdasarkan tema-tema tertentu seperti Mujizat, Perumpamaan dan ajaran dari Yesus sendiri (Wahono, 372).
Jika memang demikian, Maka posisi teks kita saat ini, berada di antara jajaran kisah mujizat yang dilakukan oleh Yesus. Perikop kedua dari bacaan kita menunjukkan hal itu (ayat 9-15a). Namun, Pada perikop yang pertama, sama sekali tidak berbicara mengenai Mujizat yang dilakukan oleh Yesus. Perikop yang pertama memuat peristiwa yang dialami oleh Yesus dan murid-murid-Nya di ladang gandum, sedangkan pada perikop kedua, terjadi sebuah mujizat di rumah ibadah  yang dilakukan oleh Yesus kepada seorang yang mati sebelah tangannya. Menariknya, kedua peristiwa ini sama-sama terjadi pada hari sabat!
Ada apa dengan hari sabat? Dalam tradisi sejarah Yahudi, hari sabat merupakan hari yang dikhususkan oleh Allah sebagai hari perhentian  sehingga pada hari itu, tidak boleh ada satu orang pun yang melakukan aktivitas atau pekerjaan (bdk. Kel. 20:10; Im. 23 : 32 ). Peraturan mengenai hari sabat kemudian dikembangkan oleh golongan Farisi ke dalam aturan-aturan yang lebih partikulat. Dari persoalan mengenai hari sabat yang ditonjolkan di dalam dua kisah ini maka terlihat jelas bahwa alam pikir Matius dipengaruhi juga oleh corak pikir keyahudian.
Kemungkinan lain yang dapat kita temukan ialah dialog-dialog antara Yesus dan kelompok agama Yahudi (Farisi) di kedua perikop ini. Mengenai percakapan Yesus dengan kelompok Farisi tersebut, Wismoady memberikan sebuah kemungkinan yang menarik. Menurutnya, Matius sengaja mengumpulkan ucapan-ucapan Yesus dan pengenaannya dengan konteks pada saat itu.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa Kitab injil Matius menyerupai sebuah buku pedoman berisi perintah-perintah injil, peraturan kehidupan kristiani di gereja, dan sanksi bagi orang kristen yang tidak menjalankan imannya. Dengan demikian, Wismoady menarik kesimpulan berdasarkan pendapat orang yang mengatakan bahwa kitab injil Matius dibacakan di dalam Jemaat (Wahono, 373). Saya sendiri agaknya setuju dengan pendapat Wismoady, tetapi jika kita kembali mengacu pada teks, maka terdapat kesan yang kuat bahwa Yesus sedang mengkritisi pernyataan  kritik dari Orang Farisi kepada para murid Yesus yang memakan bulir gandum. Nampaknya, Matius ingin memunculkan suatu konflik mengenai peraturan Yahudi untuk menonjolkan karakter Yesus yang kritis, mempunyai  prinsip dan berani. Matius melihat Yesus sebagai seorang tokoh yang penuh kharisma, cermat, dan mempunyai pengetahuan keyahudian yang cukup mumpuni.
Ø    Yesus Versus Hukum?
Pada kisah yang pertama, Narator Matius memulai cerita dengan memberi petunjuk waktu terjadinya peristiwa tersebut,  yaitu pada hari sabat. Setting tempatnya berada di ladang gandum. Masalah yang dimunculkan pertama kali adalah para murid Yesus yang kelaparan sehingga mereka memetik bulir gandum dan memakannya. Suasana konflik mulai terasa saat kelompok agama yahudi (dalam teks disebut orang-orang Farisi) melihat peristiwa tersebut lalu memberikan kritik dan penilaian terhadap apa yang dilakukan oleh para murid Yesus. Kritik dan penilaian ini ditujukan kepada Yesus. Saya melihat adanya kesan hakim menghakimi dari orang-orang Farisi terhadap apa yang dilakukan oleh para murid Yesus, meskipun hal itu adalah sebuah realitas. Di sinilah Narator ingin memunculkan ketegangan antara Yesus dan orang-orang Farisi. Lewat pelanggaran para murid terhadap hukum sabat, narator ingin memunculkan respons dari Yesus terhadap tuduhan kuat yang dilayangkan oleh orang-orang Farisi tersebut kepada para murid-Nya.
Jika memang orang-orang Farisi melihat tindakan para murid Yesus memakan bulir gandum pada hari sabat sebagai sebuah pelanggaran terhadap hukum sabat, maka pertanyaannya, apakah pada hari sabat orang dilarang untuk makan?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya, kita juga membandingkan informasi di injil sinoptik lain yang paralel dengan kisah ini. Injil sinoptik yang saya pilih ialah Injil Lukas dan kisah yang serupa terdapat di Lukas 6 : 1 : “ Pada suatu hari Sabat, Ketika Yesus berjalan di ladang gandum, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya, sementara mereka menggisarnya dengan tangannya.”
Injil Lukas memberikan keterangan yang lebih jelas mengenai apa yang dilakukan oleh para murid. Lukas menambahkan bahwa mereka tidak hanya memakan bulir gandum pada hari sabat, tetapi mereka juga menggisar bulir gandum tersebut dengan tangan mereka. Tentu hal ini merupakan pekerjaan yang cukup menguras tenaga. Dan Para murid melakukannya pada hari sabat. Padahal pada hari sabat, menurut ketentuan hukum taurat, seseorang tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat.
            Mungkin akan timbul lagi pertanyaan, mengapa Matius tidak mencantumkan informasi penting ini? bukankah Informasi ini akan semakin menguatkan kesan konflik antara Yesus dan orang-orang Farisi? Kemungkinannya, Matius ingin agar pembaca memfokuskan perhatian kepada tanggapan Yesus terkait kritik dan serangan dari orang-orang Farisi tersebut. Dan karena itulah Matius langsung menampilkan tokoh Yesus yang dengan segera tanggap menghadapi tuduhan orang-orang farisi. Yesus mengawali tanggapannya dengan sebuah pertanyaan retorika tajam mengenai apa yang dilakukan oleh Daud dan para pengikutnya ketika lapar. Yesus sekiranya tahu persis apa yang dialami oleh Daud dan para pengikutnya sama dengan apa yang dialami oleh murid-murid-Nya. Kalau para murid, karena lapar terpaksa memakan bulir gandum pada hari sabat, maka Daud dan para muridnya masuk ke rumah ibadah dan memakan roti sajian yang tidak boleh dimakan oleh siapapun, kecuali imam-imam. Yesus membawa orang-orang Farisi kembali mengingat peristiwa yang melibatkan bapa leluhur mereka, yakni Daud. Dengan mengacu pada sumber Intertesktual 1 Samuel 21 : 1-6, ketika Daud sampai di tanah Nob, ia bertemu dengan seorang Imam yang bernama Ahimelek.
Daud lalu meminta roti kepada Ahimelek, namun pada saat itu tidak ada roti. Yang ada hanyalah roti kudus, yakni roti sajian. Dengan beberapa syarat, akhirnya Ahimelek pun memberikan kepada Daud sajian tersebut.
            Rupanya, di sini Yesus ingin memberikan sebuah pertimbangan. Yesus mungkin ingin mengatakan kepada orang-orang Farisi yang menghakimi murid-murid-Nya bahwa sebelum kamu menyalahkan murid-murid-Ku, lihatlah dahulu apa yang telah dilakukan oleh bapa leluhur kita. Ia bahkan melakukan hal yang lebih parah dari apa yang telah dilakukan oleh murid-murid-Ku. Ia mengambil sesuatu yang dikhususkan sebagai persembahan untuk Allah. Lantas, mengapa Daud tidak dipersalahkan? Sedangkan apa yang dilakukan oleh murid-murid-Ku yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh Daud, malah dipersalahkan? Yesus juga menambahkan sebuah kenyataan bahwa imam-imam sendiri pun melanggar hari sabat di dalam Bait Allah, tetapi mereka tidak dipersalahkan.
Yesus memberikan serangan balik yang keras terhadap orang-orang Farisi yang menuntut keadilan hukum atas apa yang dilakukan oleh para murid Yesus. Yesus berkata kepada mereka bahwa di antara mereka ada yang melebihi Bait Allah. Di sini, Yesus melontarkan sebuah kalimat yang ambigu. Dalam Terjemahan Baru LAI, subjek dari kalimat Yesus ini tidak begitu Jelas, tetapi objeknya tercantum dengan jelas, yaitu Bait Allah. Saya menduga bahwa Yesus memang tidak menyebut “Aku” secara langsung, tetapi Orang-orang pada saat itu mengerti bahwa Yesus sedang berbicara tentang diri-Nya. Perkataan Yesus ini tidak lepas dari perkataan-Nya sebelumnya tentang Imam-Imam yang bekerja di dalam bait Allah. Jadi, Mungkin Yesus ingin mengatakan bahwa jika imam-imam kepala yang bekerja dalam Bait Allah tidak dihukum karena mereka lebih penting dari pada hukum sabat, maka Yesus pun mau mengatakan bahwa kehadiran diri-Nya lebih penting daripada hukum sabat yang tengah menjerat para murid-murid-Nya.
           
Sekali lagi, Yesus kembali menyerang orang-orang Farisi dengan kritikan-Nya. Kali ini, Ia menggunakan kutipan dari perkataan nabi Hosea (Hos. 6:6).  Ia mengatakan kepada mereka bahwa yang Allah kehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan. Yesus membuat sebuah gebrakan di sini dengan menggunakan perkataan nabi Hosea. Ia mengatakan bahwa Kemanusiaan lebih penting daripada peraturan. Kasih lebih penting dari pada soal kewajiban untuk memberi. Di tambah lagi, Yesus menggugah hati mereka dengan mengatakan bahwa tentu mereka tidak akan menghukum orang yang tidak bersalah. Apa maksud dari perkataan ini? Rupanya, perkataan Yesus memberikan jawaban kepada kita soal pertanyaan apakah makan pada hari sabat merupakan sebuah pelanggaran. Ternyata, makan pada hari sabat bukanlah sebuah pelanggaran. Makan adalah sebuah tindakan untuk mempertahankan hidup. Tentu hal itu merupakan sebuah perbuatan baik. Dan berbuat baik diizinkan pada hari sabat. Di bagian akhir kritikan-Nya, Yesus mengatakan bahwa Anak Manusia dalah Tuhan atas hari sabat. Di bagian akhir kisah ini, narator menambahkan sebuah pengakuan bahwa Yesus, sang Anak Manusia, memiliki kuasa atas hari sabat sekali. Naartor matius juga tidak menunjukkan respons balik dari orang-orang Farisi tersebut. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa memang Matius ingin agar pembaca memfokuskan perhatian kepada perkataan serta kritikkan Yesus.
            Berlanjut ke kisah selanjutnya, Narator Matius melnjutkan ceritanya. Kali ini setting tempatnya tidak lagi di ladang gandum, tetapi di Rumah ibadat atau sinagoge. Ada satu tokoh baru yang ditambahkan ke dalam cerita ini, yaitu seorang yang mati sebelah tangannya. Orang ini tidak disebutkan namanya sehingga unsur anonimitas tokoh ini akan saya fokuskan kepada apa yang dialami olehnya dan bagaimana narator menggunakan tokoh ini sebagai penyebab konflik. Pada kisah ini, ketiga tokoh bertemu, yakni Yesus, Orang-orang Farisi, dan orang yang mati sebelah tangannya. Pokok masalah masih sama seperti kisah sebelumnya, yaitu mengenai hukum sabat yang juga dipersoalkan oleh orang-orang Farisi. Oleh karena itu, narator Matius mengaitkan kedua kisah ini. Namun, ada sedikit perbedaan pada warna konflik yang terjadi.
Dalam teks paralel injil Lukas, memaparkan tujuan Yesus datang ke rumah ibadat untuk mengajar (Luk. 6 : 6). Sekali lagi, Matius tidak memberitahukan informasi penting ini. Mungkin, Matius merasa bahwa tujuan Yesus datang ke rumah ibadat tidak bergitu penting. Yang penting adalah lokasi dimana Yesus berada, yakni di rumah ibadat. Orang-orang Farisi bertanya kepada Yesus apakah diperbolehkan menyembuhkan orang pada hari sabat. Narasi menambahkan keterangan bahwa tujuan mereka bertanya kepada Yesus adalah untuk dapat mempersalahkan Yesus. Kondisi si orang yang mati sebelah tangannya ini dimanfaatkan oleh orang-orang Farisi untuk menjebak Yesus. Strategi yang dimainkan oleh para Farisi ini terbilang cukup rapih. Mereka saat itu sedang berada di dalam Sinagoge. Itu artinya, Yesus bisa saja di jatuhi hukuman jika salah menjawab. Kemungkinan Inilah yang dimaksudkan oleh narator Matius. Sinagoge menjadi tempat yang meruncingkan ketegangan dalam kisah ini. Berbeda dengan dua injil sinoptik lain, yakni Markus dan Lukas, ketegangan yang dibangun oleh Matius ialah ketegangan dua arah  dan terkesan lebih hidup. Sedangkan pada injil Markus dan Lukas, seolah-olah Yesus tahu apa yang dipikiran oleh orang-orang Farisi tersebut – tanpa ada pertanyaan dari orang-orang Farisi -  sehingga langsung memberikan kritikkan. Untuk menjawab pertanyaan orang-orang Farisi, Yesus menggunakan sebuah perumpamaan tentang seseorang yang mempunyai seekor domba dan domba tersebut jatuh ke dalam lobang pada hari sabat. Ada apa dengan domba? Domba merupakan hewan ternak yang istimewa pada saat itu. Yesus mengkondisikan jumlah domba yang dimiliki oleh orang ini yaitu hanya seekor. Itu berarti, domba ini adalah domba yang disayangi oleh tuannya. Karena disayangi oleh tuannya, maka domba itu berharga bagi sang tuan. kalau domba ini jatuh ke dalam lobang, tentu saja sang tuan akan menyelamatkan domba kesayangannya itu meskipun ia harus melakukannya pada hari sabat. Yesus kemudian berkata bahwa manusia jauh lebih berharga daripada domba. Jika domba saja diselamatkan, apalagi manusia? Oleh karena itu, berbuat baik pada hari sabat diperbolehkan. Yesus sebenarnya ingin mengatakan bahwa hukum taurat masih mempertimbangkan hati nurani dan bahkan hati nurani manusia tidak bisa dibatasi oleh hukum taurat. Menyembuhkan orang adalah sebuah perbuatan baik.
Oleh karena itu, jawaban Yesus jelas bahwa menyembuhkan orang pada hari sabat diperbolehkan sehingga Ia pun menyembuhkan orang yang lumpuh sebelah tangannya itu.
Klimaks konflik ini berujung pada persekongkolan orang-orang Farisi untuk membunuh Yesus. Pada akhirnya, segala usaha orang-orang Farisi yang legalis dipatahkan oleh Kritikkan Yesus yang penuh hikmat. Di tangan orang-orang Farisi, hukum menjadi alat untuk menjatuhkan Yesus, tetapi Yesus menujukkan bahwa hukum tidak bisa membatasi ruang hati nurani, kasih, dan karya baik manusia. Yesus sama sekali tidak menentang hukum, sebaliknya, Ia sangat menghargai hukum sehingga Ia merekonstruksi esensi hukum yang sebenarnya. Hukum bukanlah diktator penggerus kebaikkan manusia, melainkan sebuah pedoman yang membimbing orang menuju kebaikkan.
Ø    Relevansi dan komitmen transformatif gereja
Hukum mempunyai dimensi kajian yang sangat luas. Keluasan ini mengakibatkan hukum sangat sulit didefinisikan. Hukum bukan lagi sesuatu yang abstrak, melainkan sebuah rumusan rasional yang konkret dan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Menurut Notohamidjojo yang di kutip oleh Theo, Hukum adalah pertama-tama penataan hidup sosial (Huijbers, 39 dikutip dari Notohamidjojo, 15). Berdasarkan pengertian ini, kata kunci yang akan saya gunakan terkait dengan relevansinya terhadap gereja sebagai sebuah lembaga ialah soal penataan. Hakikat gereja sebagai sebuah lembaga memang sangat memerlukan penataan. Penataan dipakai sebagai parameter kuantitas pelayanan yang akuntabel. Gereja tanpa penataan akan kacau balau baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Karena gereja memerlukan pernataan, maka itu berarti gereja memerlukan hukum dan peraturan. Agar dapat melihat hukum secara lebih dalam dan lebih luas, maka hukum mesti dilihat dari dua segi, yaitu  segi Legalitas dan segi moralitas.
Yang pertama, hukum dari segi legalitas. Hukum yang benar-bernar hukum adalah hukum yang sah dan legal. Oleh karena itu, hukum adalah legalitas. Immanuel Kant memberikan definisi mengenai legalitas.
Menurutnya, legalitas adalah kesesuaian dan ketidaksesuaian perilaku terhadap ketentuan hukum tanpa memperhatikan dorongan moral (Tjahjadi, 47). Oleh karena itu, legalitas menekankan pada ketundukkan penuh terhadap hukum. Yang kedua, hukum dari segi moralitas. Pada hakitkatnya, hukum tidak saja berupa perumusan  rasional, tetapi juga berwujud moral. Hukum dijadikan prinsip moral dalam mengatur interaksi sosial ke arah yang lebih baik. Moral diartikan sebagai nilai atau dorongan batiniah. Imanuel Kant, juga membuat definisi mengenai moralitas dengan terlebih dahulu membuat perbedaan antara moralitas dan legalitas. Jika Legalitas adalah kesesuaian dan ketidaksesuaian perilaku ketentuan hukum tanpa memperhatikan moral, maka moralitas adalah kesesuaian dan ketidaksesuaian perilaku terhadap dorongan batin atau norma tertentu (Tjahjadi, 47). Dari pengertian mengenai legalitas dan moralitas, nampak bahwa ada dua dorongan yang berbeda diantara keduanya. Namun, baik legalitas maupun moralitas tidak dapat disegregasikan. Jika ingin melihat hukum secara utuh, maka kedua aspek ini perlu dilihat secara bersamaan.
Kembali ke kisah Yesus melawan orang-orang Farisi, Yesus harus berhadapan dengan hukum taurat. Hukum taurat merupakan sebuah hukum religius masyarakat Yahudi yang sangat dihormati. Hukum taurat juga berisi peraturan-peraturan kecil yang sangat ditaati oleh kelompok Farisi, sekaligus menjadi ukuran kesempurnaan hidup. Oleh karena itu, hukum taurat identik dengan hukum keagamaan atau hukum agama. Hukum agama berisi ajaran moral agama dengan standar yang tertinggi sehingga seringkali hukum agama tidak memperhitungkan kondisi manusia di dunia yang penuh dengan kelemahan, kesalahan dan dosa. Karena itu, seharusnya, realitas hidup akan tercapai jika hukum dibuat lebih longgar daripada hukum agama. (Huijbers, 89) Orang-orang Farisi telah membalurkan hukum taurat dengan kelegalitasan hukum sehingga tidak lagi mempertimbangkan dorongan batiniah manusia. Mereka sebagai orang-orang legalis yang membuat aturan, justru sama sekali tidak melihat sisi kemanusiaan manusia yang penuh dengan kelemahan. Mereka hanya fokus pada kesempurnaan hidup menurut moral agama. Di situasi seperti inilah Yesus datang.

Ia datang sebagai pembela kemanusiaan manusia di hadapan hukum, Ia datang dan menyeimbangkan ketimpangan hukum yang hanya menekankan pada legalitas. Ia datang dan mempertegas bahwa hukum yang ideal bukan hanya hukum yang memenuhi kaidah legalitas, tetapi juga moralitas.
Peraturan gereja seringkali membatasi gerak para pelayannya. Tidak hanya para pelayan, pihak yang dilayani, yakni Jemaat juga tidak bisa dengan leluasa memberikan kontribusinya bagi gereja. Hal ini disebabkan oleh tingginya standar aturan yang ditetapkan oleh gereja. Realitas yang paling umum dijumpai yaitu pada saat pemilihan pelayan gereja seperti penatua dan diaken. Kerapkali standar yang ditetapkan oleh gereja kepada calon penatua dan diaken terbilang cukup tinggi. Faktanya, ada calon yang dapat memenuhi kriteria yang diberikan, namun ada pula yang tidak memenuhi kriteria padahal mampu, punya potensi yang mumpuni serta komitman melayani yang matang. Keinginan mereka untuk melayani jemaat harus kandas karena banyaknya peraturan dan kriteria. Selain itu, gereja juga mempunyai peraturan-peraturan tertulis mengenai tata ibadah atau liturgi, peraturan dalam menggunakan pakaian, bahkan terkadang pendeta pun dibatasi ruang geraknya dalam berkhotbah. Akibatnya, banyak ide-ide kreatif jemaat yang tidak dieksplor oleh gereja, pelayanan gereja yang semakin hari semakin kaku dan monoton, serta kontekstualisasi kultural yang semakin memudar. Gereja seharusnya menjadi Alat Tuhan dalam mewartakan berita keselamatan bagi mereka yang ingin menjangkau-Nya. Untuk itu, Gereja perlu menyeimbangkan peraturan yang ada dengan kebutuhan Jemaat. Peraturan bukanlah menjadi penghalang bagi Jemaat untuk berkarya, melainkan Peraturan harus menjadi pedoman yang mengarahkan Jemaat dalam mengembangkan karyanya. Seperti teladan Yesus yang menyeimbangkan antara aspek legalitas dan moralitas dari hukum taurat, gereja harus mempertimbangkan setiap peraturan yang dibuat, apakah itu sesuai dengan nilai kasih dan moralitas jemaat, atau hanya sebuah peraturan demi kepentingan terntu dan maksud tertentu. Selain itu, gereja harus berani untuk keluar dengan semangat reformatif agar gereja mampu menjalankan misi Allah dengan bijaksana. Peraturan-peraturan yang terlalu mengikat sebaiknya direvisi kembali demi kualitas pelayanan yang lebih baik.
Seperti yesus, gereja tidak perlu mengabaikan hukum, karena memang hukum penting, tetapi esensi gereja tidak boleh dikuasai oleh hukum, dan sebaliknya, hukumlah yang harus dipakai oleh gereja untuk berkarya dengan lebih optimal dan proporsional. Gereja membutuhkan komitmen, dimulai dari pemimpin gereja sebagai teladan dan diikuti oleh seluruh komponen gereja. Dengan demikian, gereja dapat menjadi lentera dalam memancarkan cahaya kasih Allah kepada dunia.
PENUTUP
v  Kesimpulan
Krtitik yesus yang transformatif, hendaknya menjadi semangat gereja untuk bergerak maju. Gereja harus berani keluar dari hiruk pikuk kelegalitasan hukum yang menghambat tugas gereja dalam menjalankan misi Allah. Hukum perlu ada dan tidak boleh diabaikan, tetapi hukum dan peraturan tersebut mesti diseimbangkan dengan hati nurani dan kreatifitas jemaat. Peraturan gereja yang proporsional akan mempukan gereja untuk melayani Tuhan dengan lebih optimal. Lebih daripada itu, hukum kasih tetap menjadi dasar dari semua hukum dan peraturan gereja agar semua komponen gereja mendapatkan makna dalam melayani Tuhan.
v  Saran
Gereja tentunya akan semakin berkembang. Seiring dengan perkembangan tersebut, peraturan-peraturan gereja entah semakin direnggangkan ataukah mungkin semakin kompleks, akan dikaji lebih lanjut dengan melihat variabel lain dari peraturan-peraturan tersebut demi mendapatkan sebuah solusi yang lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Wahono, W. 2015. Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab. Cet.18. Jakarta : Gunung Mulia.
Huijibers, Theo. Filsafat Hukum. Edisi ke-2. Yogyakarta: Kanisius. 1990. Buku.
Tjahjadi, S.P.L. 1991. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Cet.1. Jakarta: Gunung Mulia.  






Komentar

Postingan populer dari blog ini

EKSPOSISI KITAB LUKAS 7: 36--50

KAPASITAS SEORANG PELAYAN

Allah menciptakan ragam bahasa