Review Film Titanic (1997)

“Film Tua Nan-apik yang Maknanya Selalu Relevan Sepanjang Zaman”

            Seorang politikus terkenal Indonesia dalam sebuah debat politik, pernah mengucapkan kata-kata yang kira-kira bunyinya seperti ini: “Cinta itu tetap dengan yang lama, tetapi selalu terasa baru”. Kurang lebih, kata-kata itu sebenarnya ingin mengangkat sebuah poin penting tentang nilai novelty. Waduh! Jenis makanan apalagi tuh? dalam bahasa kita, novelty artinya nilai kebaruan. Sesuatu pemaknaan yang baru dari sebuah peristiwa atau pengalaman lama. Jadi, bukan nama makanan ya! Barangkali, ada dari para pembaca yang mulai merasa lapar ketika saya menyebutkan kata makanan. Semoga saja, selain melalui makanan, tulisan ini mampu mengenyangkan para pembaca dengan hiburan dan wawasan.

Sekarang, saya langsung ke intinya mengapa saya membuka tulisan review film dengan mengungkapkan soal nilai novelty. Pertama-tama, ada sebuah film tua atau supaya lebih sopan kita sebut saja film klasik berjudul Titanic yang tetap saja memikat dan menggetarkan meskipun sudah ditonton berkali-kali. Biasanya kan, vibes sebuah film bisa perlahan-lahan memudar kalau sudah ditonton berkali-kali, penyebab dominannya karena kita sudah tahu jalan ceritanya. Berbeda dengan film Titanic, vibes film ini tetap bertahan bahkan berkembang meskipun ditonton di zaman yang berbeda. Mungkin karena soundtrack utamanya memukau, yaitu lagu dari Celine Dion berjudul My Heart Will Go On, atau bisa juga karena instrumen-instrumen filmnya yang mampu membuat kita merasa seperti masuk ke dalam setiap peristiwa dalam film, atau sangat mungkin karena memang jalan ceritanya bagus, sarat makna, serta mengandung novelty yang selalu relevan dengan situasi zaman. Saya asumsikan, para pembaca sudah sangat mengenal film klasik satu ini, bahkan mungkin sama nasibnya seperti saya yang ketagihan menonton film ini berulang-ulang kali. Namun, yang namanya kehidupan selalu terdapat ruang bagi keserbamungkinan sehingga saya tetap terbuka pada kemungkinan bahwa barangkali ada di antara pembaca yang belum menonton sama sekali film ini selama hidupnya, ataukah sudah pernah menonton, tetapi lupa karena sudah lama sekali sejak terakhir kali menonton film ini. Bagi yang belum pernah menonton dan yang sudah lupa bahwa pernah menonton, tenang saja masih ada kesempatan untuk menonton filmnya, belum terlambat. Setahu saya, film ini masih bisa ditonton via googling dan barangkali masih ada beberapa aplikasi streaming resmi berbayar yang masih menayangkannya (Yuk! Nonton!). Maklum saja ya, filmnya pertama kali dirilis tahun 1997, saya saja belum melihat keindahan dunia tuh, bahkan direncanakan kehadirannya di dunia saja belum.      

Karena saya terlalu asyik menceritakan secuil kesan pribadi mengenai fim Titanic yang memang menganggumkan, sekaligus mempromosikannya kepada kita supaya terdorong untuk menontonnya (lagi?), saya sampai lupa mengungkapkan alasan mengapa saya menjelaskan tentang novelty di bagian awal tadi. Padahal, jawabannya simple, Saya ingin menemukan sekaligus memperlihatkan kepada kita nilai novelty dari film klasik ini yang menjadi letak utama dari kekuatan memikatnya yang sudah saya sebutkan tadi. James Cameron, sebagai sutradara sekaligus penulis cerita dari film ini pernah melontarkan sebuah pernyataan yang bunyinya sebagai berikut:

“Titanic bukanlah film yang menyedot orang-orang karena kisah cinta yang menyedihkan lalu mereka pulang dengan perasaan hancur dan kecewa, mereka akan kembali lagi dan lagi untuk mengulang pengalaman itu, bersedia menghabiskan waktu 3 jam 14 menit dari hidup mereka dan mengajak orang lain bersama mereka agar mereka bisa berbagi emosi”

Kurang lebih begitulah bunyi pernyataan Cameron ketika menjawab kritikan dari salah satu kritikus film yang menyinggung soal kisah cinta antara Jack Dawson (Leonardo DiCaprio) dan seorang putri bangsawan bernama Rose DeWitt Bukater (Kate Winslet) yang berakhir tragis. Saya secara pribadi setuju dengan pernyataan Cameron bahwa memang genre utama film ini ialah romance yang berfokus pada kisah cinta emosional antara Jack dan Rose yang menjadi “pelezat” dalam peristiwa tenggelamnya kapal RMS Titanic pada tanggal 15 April 1912 di samudera Atlantik Utara saat pelayaran perdananya.

Namun, seperti yang ditegaskan Cameron dalam pernyataannya itu, sebenarnya bukan hanya soal kisah cinta tragis yang membuat film ini istimewa dan bikin nagih buat ditonton berulang-ulang, tetapi karena ada “sesuatu” yang tak terkatakan (bahkan) dalam pernyataan Cameron dan “sesuatu” itulah kunci keistimewaan film ini. Kalau saya sih menebak “sesuatu” itu ialah nilai novelty-nya yang selalu relevan sepanjang zaman. Para pembaca boleh loh tidak setuju dengan saya karena mungkin lebih takjub pada kualitas cinematografinya (memang keren banget sih!), jalan ceritanya, musiknya, atau apapun itu (bagi yang sudah menonton). Sedangkan, bagi yang belum menonton atau yang sudah lupa, silahkan ditonton filmnya lalu buatlah tebakanmu sendiri. Berbeda pun tak apa, kan tergantung perspektifnya. Justru karena film Titanic ini membuka arena yang luas bagi kita untuk menggunakan perspektif sebebas-bebasnya dalam memaknai pesan film. Makanya, tidak mengherankan bila Titanic berhasil meraih 14 nominasi dalam Academy Awards tahun 1998, bahkan pada tahun 2010 dinobatkan sebagai film terlaris sepanjang masa selama 12 tahun dan dibuatkan versi 3D-nya. Kurang daebak  apalagi coba!

Novelty I: Kisah Cinta dengan Pemaknaan Tendensius “Cinta Sejati Menjunjung Tinggi Kesetaraan”

            Dari tadi, saya banyak membicarakan soal nilai novelty dari film Titanic, tetapi kok tak kunjung muncul-muncul? Baiklah, tenang, pada bagian ini akan saya tunjukan nilai novelty pertama dari film ini. Film dimulai dengan memperlihatkan keberuntungan seorang pemuda biasa berjiwa bebas dan penuh semangat bernama Jack Dawson (Leonardo DiCaprio) dan temannya Fabrizio (Danny Nucci) yang berhasil memenangkan dua buah tiket penumpang kelas tiga kapal RMS Titanic yang akan berlayar menuju pelabuhan kota New York, Amerika Serikat.

 

Mereka beruntung karena dari sekian banyak orang yang ingin mencicipi pengalaman menunggangi sang “raksasa lautan” (arti kata Titanic), merekalah yang terpilih untuk menikmati pengalaman itu. Namun, siapa sangka justru melalui keberuntungan tersebut, jalan takdir mengarahkan Jack untuk berjumpa dengan seorang putri keturunan bangsawan bernama Rose DeWitt Bukater (Kate Winslet). Sebagai seorang putri dari kalangan bangsawan, Rose tidak pernah merasa bahagia.

 



 Di saat begitu banyak orang excited mendapatkan kesempatan menjelajahi samudera dengan Titanic, justru Rose merasa seperti terpenjara di dalam megahnya kapal itu. Rose tak pernah mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang perempuan merdeka. Ibunya, Ruth Bukater (Frances Fisher) memaksanya menjalin hubungan dengan seorang bangsawan kaya raya bernama Cal Hockley (Billy Zane), yang tak pernah dicintainya.



                   
                                                                                           

            Cal memperlakukan Rose dengan sangat baik, memanjakannya dengan berbagai macam harta benda. Di depan bangsawan lainnya, perhatian Cal terhadap Rose dianggap sebagai sebuah perasaan cinta, padahal tidak demikian. Semua perhatian Cal terhadap Rose dimaksudkan hanya untuk pamer. Realitanya, Rose selalu mendapatkan paksaan agar mau melakukan semua hal yang diperintahkan oleh Cal. Karena sudah tidak tahan dengan berbagai macam paksaan dan tekanan, Rose akhirnya berniat untuk bunuh diri. Di tengah-tengah pusaran konflik antara Cal dan Rose, Jack hadir dan mendapati dirinya telah “jatuh cinta pada pandangan pertama” terhadap Rose. Ketika melihat gadis yang memikat hatinya tersebut hendak mengakhiri hidupnya di tengah-tengah samudera Atlantik yang luas, Jack pun tak bisa menahan diri dan bergegas menolong gadis bangsawan malang itu.

 

 Di situlah awal mula kisah cinta Jack dan Rose bersemi. Mereka mulai menjalin hubungan persahabatan yang hangat. Cara Jack memperlakukan Rose sangat memukau, ia mampu membuat Rose keluar dari “penjara” kebangsawanannya, Rose bisa menjadi dirinya sendiri bahkan mampu meraih versi terbaik dirinya yang telah hancur lebur karena keegoisan Cal. Jack yang berjiwa bebas mampu mentransfer kebebasannya itu kepada Rose sehingga perbedaan kasta sosial tidak lagi menjadi penghalang bagi kisah cinta mereka berdua. Mereka berdua tersenyum bersama, bermain bersama, bahkan dalam satu adegan yang sangat saya sukai, Rose dengan sangat gembira menari-nari bersama para penumpang kelas tiga yang notabene ialah orang-orang biasa.



           

 

                                  

Sampai di sini, saya berhenti dulu ya. Sekarang, mari kita telisik bersama secara lebih mendalam perspektif di balik secuplik kisah cinta Jack dan Rose ini. Sebenarnya, kisah cinta antara Jack dan Rose tidak hanya dapat diartikan sebagai sebuah kisah cinta yang mengatasi batas-batas kasta sosial. Kebanyakan dari kita mungkin memahaminya demikian. Namun, bila kita perhatikan dengan cermat, kita masih bisa melihat lapisan-lapisan lain, misalnya perspektif tentang kesetaraan relasi cinta, keintiman yang melampaui romantisme, serta esensi cinta yang membebaskan. Waduh, berat amat ya pembahasannya. Supaya tak terasa berat, saya menawarkan diri untuk menerangkannya. Kalau mau lebih ringan lagi, barangkali kita bisa merenungkan dan merelevansikannya sendiri dalam pengalaman masing-masing ya.

Oke, saya akan mulai menerangkan. Yang pertama, mengenai kesetaraan relasi cinta. Kita perlu memahami bahwa setara bukan berarti sama. Jack tetaplah seorang pria biasa dengan segala keberadaannya, sedangkan Rose tetaplah seorang gadis bangsawan dengan segala keberadaannya. Letak kesetaraannya ialah pada bagaimana cara pandang Jack terhadap Rose sebagai sesama manusia yang membutuhkan cinta dan kebahagiaan. Jack tidak memandang Rose sama seperti cara Cal memandang Rose. Kalau Cal memandang Rose hanya sebagai “alat” untuk memuaskan keuntungan pribadi, maka Jack justru meminta Rose untuk menjadi dirinya sendiri, yang berarti bahwa di saat yang sama Jack telah menghilangkan kesempatannya untuk menikmati keuntungan pribadi. Jack membiarkan Rose berkembang menjadi dirinya dan membebaskan diri dari berbagai macam aturan yang mengekang. Itulah hubungannya dengan esensi cinta yang membebaskan. Sebagai ilustrasi agar kita dapat memahami konsep ini dengan lebih mudah, saya akan menceritakan diskusi singkat antara seorang murid dengan Sidharta Gautama. Sang murid bertanya kepada Gautama: “Bagaimana kita dapat mengetahui perbedaan antara rasa suka dan rasa cinta?”, Lalu Gautama menjawab: “Kalau di tengah jalan kamu menemukan sebuah bunga yang indah lalu kamu memetiknya dan memamerkannya kepada orang-orang, itu artinya kamu menyukai bunga tersebut. Namun, bila kamu mencintai bunga itu, kamu tidak akan memetiknya, tetapi kamu akan menyiraminya setiap hari”. Itulah keintiman cinta. Ada konektivitas satu sama lain tanpa harus memonopoli dan saling merendahkan satu sama lain, baik itu dalam hal status sosial maupun merendahkan sebagai manusia. Karena cinta sejati selalu menjunjung tinggi kesetaraan, sesuatu yang bernilai abadi seperti kisah cinta Jack dan Rose yang tetap abadi sekalipun pada akhirnya berujung tragedi.

                                                           



Novelty II: Keagungan Alam Versus Arogansi Manusia “Kritik Terhadap Dominasi Antroposentris/Antroposcene

            Sebelumnya, telah saya tunjukan nilai novelty pertama dari film Titanic (versi pribadi) yang membahas tentang bagaimana kita masih bisa menemukan lapis-lapis perspektif tentang cinta selain realitas dasar mengenai cinta yang mengatasi sekat-sekat sosial. Harapan saya, semoga para pembaca belum merasa jenuh setelah membahas tetang makna cinta yang berat-berat. Kalau toh sudah jenuh pun, saya izinkan kok untuk berpaling sebentar dari review ini, tetapi jangan lupa kembali lagi ya, soalnya di novelty yang kedua bakalan hadir sesuatu yang lebih menarik.

            Seperti yang telah saya kemukakan di bagian pendahuluan, dalam review ini bisa saja mengandung dua hal, yaitu hiburan dan juga wawasan. Nah, di novelty kedua yang akan saya tawarkan berupa wawasan. Pernahkan kita mendengar istilah “antroposentrisme” dan antroposcene? Mungkin bagi kita yang mempunyai latar belakang pengetahuan ilmu sosial-humaniora, dua istilah ini sudah tidak asing lagi. Tetapi, bagi kita yang tidak mempunyai latar belakang pengetahuan tentang ilmu sosial-humaniora, sangat mungkin dua istilah tersebut terdengar asing di telinga. Sebenarnya, kalau pun terdengar asing, kita masih bisa pergi ke mbah google untuk mencari tahu dua istilah tersebut secara lebih mendalam. Namun, saya dengan rendah hati akan mencoba menjelaskan kepada kita pemahaman ringkas mengenai dua istilah tersebut. Sebenarnya pemahaman mengenai dua istilah tersebut tidaklah berbeda jauh. Antroposentrisme merupakan pandangan atau paham yang terpusat pada diri manusia. Kalau istilah ini kita gunakan dalam pembahasan mengenai ekologi (ilmu tentang alam), maka antroposentrisme ialah paham yang mengandaikan bahwa manusia terpisah dari alam. Manusia berada di atas alam. Sedangkan, antroposcene  ialah pandangan-pandangan yang mengagungkan pencapaian manusia, misalnya kemajuan dunia industri, sains, dan teknologi di atas keberadaan alam. Nah, pertanyaan pentingnya ialah, apa hubungannya dua istilah tersebut dengan film Titanic?

            Di bagian awal film, selain memperlihatkan dua tokoh utama, yaitu Jack dan Rose, Cameron juga menunjukan figur penting dalam sejarah kapal RMS Titanic, yaitu perancang kapal Titanic, Thomas Andrews (Victor Garber). Andrews dengan bangga memperkenalkan kapal terbesar di dunia dengan kemampuan yang luar biasa kepada Rose, ibunya, dan Cal. Kemampuan kapal Titanic seperti namanya berarti “raksasa” merepresentasikan kekuatan kemajuan industri manusia pada zaman itu. Bahkan, dengan sombongnya, Andrews berujar bahwa “kemampuan Titanic begitu luar biasa, sehingga Tuhan pun tak mampu merobohkannya”.

 

Selain Andrews, di film, kita juga dapat menemukan seorang tokoh bangsawan bernama Joseph Bruce Ismay, yang mana dengan posisinya sebagai direktur White Star Line, memaksa kapten Smith (Bernard Hill) untuk mempercepat laju kapal sampai maksimal agar mereka bisa tiba lebih awal di pelabuhan New York sehingga dapat menarik perhatian media. Ia pun juga bermaksud memamerkan ketangguhan Titanic, namun apa daya karena faktor yang tak diprediksi sebelumnya dan laju kapal terlalu cepat, mereka tidak sempat menghindari gunung es di pertengahan samudera Atlantik sehingga mengakibatkan rusaknya bagian tubuh kapal Titanic yang pada akhirnya membuatnya tenggelam.

 



                                                    
                                                              

Kehadiran gunung es yang sebelumnya tak diprediksi keberadaannya oleh Andrews dan Ismay dapat merobohkan sang “raksasa lautan”, secara simbolik dapat kita maknai sebagai perwakilan alam untuk mengkritik arogansi manusia. Saya terpikat misalnya dengan adegan dimana Jack dan Rose diam terpaku menatap besarnya gunung es yang dihantam oleh Titanic dan hasilnya Titanic-lah yang kalah.

 


Arogansi yang ditampilkan melalui figur Andrews dan Ismay sebenarnya merupakan contoh konkret dari implementasi pandangan antroposentris/antroposcene dalam hubungannya dengan alam. Karena itu, novelty kedua ini sebenarnya hendak mengajak kita untuk memikirkan ulang tentang bagaimana selama ini kita memperlakukan dan mengeksploitasi alam karena memandang rendah alam setelah diri kita dibutakan oleh arogansi kehebatan manusia. Ingatlah bahwa alam mempunyai caranya sendiri untuk mengkritik, menyadarkan, serta mendisiplinkan kita dari berbagai macam perilaku semena-mena. Mumpung kita sampai sekarang masih mengalami masa pandemi covid-19, bolehkan saya mengajukan pertanyaan “jangan-jangan pandemi ini merupakan cara alam mendisiplinkan perilaku dan arogansi kita?” hmm.. silahkan dijawab sendiri ya para pembaca!

Penutup dan Kesimpulan

            Sudah selesai ya review-nya? Waduh kok sepertinya singkat banget ya? Kayaknya belum semua jalan ceritanya dibahas deh? Saya memang sengaja menutup review ini sampai di sini. Kalau singkat sih, saya kira tidak juga karena sudah 2000 kata lebih nih. Jika berminat ingin mengetahui semua jalan ceritanya silahkan langsung ditonton ya film tua nan-apik ini. Total durasi filmnya 3 jam 14 menit, tentunya tidak akan cukup termuat semua jalan ceritanya dalam review ini. Tugas saya sebagai reviewer untuk merangsang pembaca menonton film ini sudah selesai. Semoga kita tidak menyianyiakan kesempatan untuk menonton film Titanic yang diramu dengan kualitas cinematografi terbaik, jalan cerita yang apik, serta nilai novelty yang relevan sepanjang zaman. Akhir kata, saya akan mengutip bagian pernyataan akhir dari film ini: “tiada sesuatu pun di bumi yang sanggup memisahkan mereka”, semoga kita juga ya.

Ingin mendapatkan referensi tentang film-film berkualitas dan review film yang menarik? Mari yuk berbondong-bondong kunjungi akun IG @bacaterus.         

Sumber Foto (Atas ke Bawah):

Foto 1: https://en.wikipedia.org/wiki/Titanic_(1997_film)

Foto 2:https://www.fanpop.com/clubs/fabrizio-derossi-and-jack-dawson/images/33380310/title/fabrizio-jack-photo

Foto 3 dan 4: https://jamescameronstitanic.fandom.com/wiki/Rose_DeWitt_Bukater

Foto 5,6, dan 7: https://www.titanicuniverse.com/titanic-turns-20-billy-zane-claims-cal-was-misunderstood/4651, https://id.pinterest.com/pin/578220039653659784/

Foto 8,9, 10,11,12, dan 13: Screen Shot Pribadi.

Foto 14: https://www.boombastis.com/film-titanic/9852

Foto 15: https://twitter.com/titanicsayings/status/282376124544192512?lang=ga

Foto 16,17,18, dan 19: Screen Shot Pribadi.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EKSPOSISI KITAB LUKAS 7: 36--50

KAPASITAS SEORANG PELAYAN