LOVE STORY EDITION 2



Aku dan Dia (Part 2)

            Ujian besar yang akan merintangi hubungan kami, kini telah terbentang di depan mata. Dimensi ruang telah menciptakan sebuah jarak yang akan memisahkan aku dan dirinya. Tak dapat dipungkiri bahwa hal ini bukanlah mimpi kami berdua- hanya mimpiku- yang tak dapat kusangkali demi mengukir masa depan yang semakin jelas kulihat. Terbesit pertanyaan besar di dalam benakku, Akankah rintangan besar ini akan mampu mengakhiri hubungan indah kami berdua? Seperti yang telah kukatakan di tulisan sebelumnya, rintangan ini takkan berdaya untuk mengakhiri, tetapi akan menstimulasi kami untuk semakin kuat dalam memperjuangkan hubungan kami.

            Berangkat dari kisah pada bulan april lalu, kisah aku dan dia terus berlanjut. Kami menjalani hari demi hari seperti biasa, penuh canda, tawa, kebersamaan juga amarah. Semua itu bagaikan dinamika permanen yang akan terus menghiasi hubungan ini, bagiku mungkin sedikit merepotkan dan sangat menguras tenaga, namun semua hal itu jika dinikmati dengan legowo, lama kelamaan juga akan menjadi terbiasa. 

            Masih dalam bulan April, tepatnya pada tanggal 28 April 2017, Kami para guru sekolah minggu menempuh jalan darat ke Atambua dalam rangka mengadakan sebuah kegiatan pelatihan bagi kami para guru sekolah minggu guna meningkatkan kualitas dan kompetensi kami dalam Pelayanan Anak dan Remaja. Aku dan dia juga termasuk di dalamnya. Kami berdua juga turut terlibat dalam kegiatan tersebut. Kami berangkat dari Kupang pada malam hari dengan menggunakan Bus yang tentunya dapat menampung kami semua. Sebangku dengannya menjadi sebuah hal yang berkesan bagiku, karena dengan demikian aku bisa menikmati perjalanan dengan posisi yang teramat dekat dengannya, seraya kami berbagi cerita dan bernyanyi bersama agar perjalanan yang terbilang jauh itu tidak menjadi begitu membosankan bagi kami semua, khusunya bagi ku dan dia. Kami menghabiskan sekitar empat hari di Atambua dengan berbagai macam cerita, seperti mengalami kurang tidur, disuguhkan makanan yang lezat, hingga mengunjungi tempat-tempat wisata yang sangat menakjubkan dan indah. Cerita yang sungguh mengesankan saat berada di sana, bukan Cuma pembelajaran yang didapat, tetapi juga kesempatan untuk menyaksikan keagungan Tuhan yang begitu luar biasa. Manfaat lain yang kurasakan dari kegiatan ini adalah aku bisa menjadi lebih dekat dengannya, mengamati kesehariannya juga waktu bersamanya yang semakin banyak. Sungguh sangat mengesankan dan sangat memberikan faedah bagi kami, Aku dan juga dia. Hingga kepulangan kami ke kupang, kenangan indah sewaktu kami berada di sana masih terus membekas di hati kami semua.

            Bulan pun berganti, Keseharianku berganti pula dengan penantian keputusan Apakah aku akan melanjutkan studi di luar kota kelahiranku, ataukah tetap di dalam kota ini. Dalam penantian ini, aku diperhadapkan dengan pikiran-pikiran yang begitu memberatkan, ketakutan demi ketakutan pun muncul hingga membuatku mencari alternatif  lain untuk menenangkan diriku. Hingga suatu hari, tepatnya pada tanggal 11 Mei, Aku dikejutkan dengan berita bahwa aku lulus di salah satu universitas di Yogyakarta. Di satu sisi, aku sangat senang mendengar berita itu, karena hal itu berarti bahwa jalan untuk menggapai mimpiku semakin terbuka. Di sisi lain, aku harus berani menerima konsekuensi yang amat memahitkan, yaitu harus meninggalkan kota kelahiranku, orang tua dan semua sanak keluargaku, termasuk juga dia yang aku cintai. Dapat dikatakan bahwa aku sedang terjebak dalam sebuah dilema saat itu. Aku merasa bahwa “langkahku” selanjutnya terasa begitu berat.

            Terlepas dari lingkaran dilema yang aku alami ini, rupanya dia pun merasakan hal yang sama denganku saat menerima kenyataan ini. Sebagai “teman” yang baik, tentunya ia sangat senang mendengar berita ini, namun mungkin hal itu tidaklah sejalan dengan hati kecilnya yang mungkin saja menangis karena akan terpisah jauh dariku. Terbukti saat mendengar berita kelulusanku dia pun menitikkan air mata. Melihat kondisi ini, aku pun segera bertindak untuk menenangkannya dengan mengatakan kalimat ini “ sudahlah, masih lama kok”. Entah apa yang ada di pikirannya sewaktu mendengar kalimat penenangan yang aku lontarkan ini, tetapi sepertinya kalimat ini memberi dampak yang berarti baginya sehingga ia pun menghentikan tangisannya.

            Hari berganti hari, Sesudah kejadian itu, aku dan dia menjalani hari-hari sebagaimana biasanya, tanpa memikirkan waktu yang semakin menyingkat, Kami berdua memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan berusaha untuk meninkmati sisa-sisa waktu yang ada agar singkatnya waktu takkan terasa berlalu begitu cepat. Suatu hari, Aku mengikuti sebuah kegitatan rohani yang membuatku harus menginap dan itu artinya itulah kali pertama aku harus meninggalkan dia dan jauh darinya. Meski hanya beberapa hari, namun sudah menimbulkan perasaan rindu yang cukup besar baik yang aku rasakan maupun yang dia rasakan. Aku sejenak berpikir bahwa dengan jarak yang masih dekat dengan rentangan waktu yang terbilang cepat, sudah meningglakan rindu yang cukup membekas, apalagi harus berpisah dengan jarak yang begitu jauh dalam kurun waktu yang lama tentunya akan sangat menyengat perasaan rindu yang dirasakan. 

            Waktu berlalu dengan begitu cepat, tak terasa sudah memasuki bulan juni dan tinggal sebulan lagi maka aku akan pergi meninggalkan kotaku dan merantau ke negeri orang untuk menuntut ilmu. Di bulan ini, aku kembali disibukkan dengan kegiatan pelayanan yaitu dalam rangka mempersiapkan anak-anak terpilih yang akan mengikuti Jambore PAR Klasis yang akan diselenggarakan dalam bulan juli nanti. Tentunya menerima kepercayaan sebagai seorang pelatih merupakan sebuah tanggung jawab besar dan amat berkesan bagiku. Sebagai seorang pelatih, aku dapat berbagi pengalaman kepada anak-anak peserta Jambore tentang bagaimana berusaha dengan keras dalam sebuah ajang perlombaan dan juga bagaimana suasana persekutuan yang ada di Jambore. Aku merasa begitu bersemangat mengingat Jambore yang takkan pernah bisa dilepaskan dari hidupku, membuatku kembali bernostalgia dengan masa-masa dimana suasana persekutuan nan-indah kegiatan Jambore yang pernah kuikuti. Semangat itu terus berkobar dalam diriku sehingga selama melakukan persiapan, Aku merasa bahwa aku telah kembali ke saat-saat dimana aku mengikuti Jambore pada masa lampau.

            Setelah melalui proses latihan selama kurang lebih satu bulan, Tepatnya pada tanggal tiga Juli 2017, Kegiatan Jambore dilaksanakan. Jambore tahun ini diadakan di Tarus. Adalah sebuah tantangan bagiku, yang mana aku harus pulang pergi kupang –Tarus, namun hal itu tidaklah memadamkan api semangat dalam diriku. Aku begitu antusias dengan kegiatan Jambore ini sehingga aku menaruh perhatian yang lebih kepada kegiatan ini. Rupanya aku tindakanku ini malah mendatangkan malapetaka bagiku. Aku begitu larut dalam euforia kegiatan ini, aku tenggelam dalam angan nostalgia yang membuatku “lupa diri” bahwa aku bukan lagi peserta Jambore. Akibatnya, aku melakukan sebuah kesalahn besar. Tanpa kusadari, aku telah mengabaikan dia yang selalu “menunggu”ku. Amarah besar harus kuterima darinya hingga membuat kami berdua berselisih dan bertengkar. 

            Malam itu, Pertengkaran kami begitu apik, hingga sampai di satu titik dimana dia tak sanggup lagi untuk berjuang bersamaku. Dia Begitu marah hingga dia mengatakan bahwa hubungan ini harus berakhir. Pada saat itu, aku merasa bahwa hubungan kami telah berada di ujung tanduk. Aku menjadi begitu lemah tak berdaya, begitu pula dengan dirinya, Aku hanya bisa menangis seraya berdoa agar hubungan kami ini tidak kandas karena kesalahanku itu. Aku merasa begitu terpukul, bahkan klimaks dari kekalutan kesedihanku pada waktu itu adalah saat masa lalu harus kembali diungkit ke permukaan dan dia menginginkan agar aku melepaskannya untuk pergi dan mengakhiri semuanya. Tak dapat kugambarkan betapa hancurnya hatiku pada saat itu, dalam hati kecilku hanya ada doa yang membantuku untuk kuat memperjuangkan hubungan ini, sejujurnya aku sangat mencintainya, namun kesalahanku itu sudah membuatnya tak percaya lagi padaku. Aku semakin kian terpuruk hingga keheningan malam menghentikan sejenak pertengkaran apik itu tanpa solusi. 

            Dalam keadaan seperti itu, Aku memutuskan untuk bertelut. Aku berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan atas segala masalah yang sedang terjadi ini. Aku percaya bahwa jika dia adalah “teman hidupku” maka dengan cara apapun Tuhan akan mendamaikan dan mempersatukan kembali kami berdua. 

            Setelah kejadian itu, hari demi hari kami lalui, luka di hatinya perlahan-lahan mulai kubalut kembali. Aku berusaha dengan keras untuk mengembalikan senyum diwajahnya, dan usahaku itu berbuah manis. Ia kembali tersenyum padaku, dan saat itu juga aku kembali dekat dengannya seperti sedia kala. Mungkin inilah jawaban doa, dan aku mengucap syukur akan hal itu.

            Sampailah kita di seremonial akhir kegiatan Jambore. Dibaluti dengan suasana yang meriah, membuat aku dan dia juga turut menikmati acara tersebut. Ditengah-tengah kemeriahan itu, aku kembali dikejutkan dengan keberadaan teman-teman seperjuanganku ketika masih berkiprah di Jambore tingkat Sinode dulu. Tak ku sangka kami akan bertemu di momen Jambore juga. Aku merasa gembira pada saat itu, mengingat sekitar kurang lebih 3 tahun tidak berjumpa membuat kami kembali berbagi keseruan satu sama lain. Aku begitu menikmati perjumpaan kami saat itu, sampai-sampai aku lupa jika dia sedang menungguku. Sontak kesalah pahaman pun terjadi. Aku berbuat kesalahan lagi.

            Awalnya, aku tidak menyadari bahwa tindakanku menyapa teman-teman lamaku membuat dia berpikir bahwa aku mengabaikannya dan sudah tak mempedulikannya lagi. Ketika aku mendekati dirinya dan hendak menyapanya, dia tidak menggubrisku bahkan ia mencoba menjauhiku. Sempat aku merasa jengkel dengan perubahan kelakuannya yang begitu tiba-tiba, Akan tetapi aku mencoba untuk tidak berprasangka dengan apa yang terjadi padanya. Sepulang dari lokasi Jambore, pertengkaran kami mulai mencuat dan makin mencuat. Agaknya Dia semakin naik darah ketika melihatku dan mengingat perlakuanku padanya tadi. Tanpa diduga-duga ia melepas kalung yang pernah kuberikan padanya dan mengembalikannya padaku. Pada saat itu nyawaku seakan terlepas dari raga ini. Aku hanya terdiam tanpa kata. Entah apa yang kurasakan saat itu, tetapi aku hanya dapat mengatakan bahwa aku begitu takut, marah, jengkel dan sedih. Semua perasaan itu bercampur aduk menjadi satu sehingga membuatku seperti ingin menyakiti diriku sendiri. 

            Kata maaf terus-menerus terucapkan dari mulutku, tapi tak satupun digubris olehnya. Aku terus menekankah padanya bahwa aku begitu mencintainya dan aku mencoba untuk menjelaskan padanya bahwa aku sama sekali tidak mempunyai maksud untuk mengabaikannya, tindakanku tadi hanyalah sebuah tindakan menyapa teman lama. Meski aku sendiri tahu bahwa penjelasan itu hanyalah usaha yang sia-sia-karena takkan didengar- aku terus berjuang agar ia mau mendengarkan penjelasanku. Pertengkaran kedua kami berlangsung dengan begitu apik hingga mencapai klimaksnya saat ia mengatakan bahwa ia tak sanggup lagi bertahan denganku dan ingin segera mengakhiri hubungan ini. Namun Aku tak lantas bertindak gegabah dengan mengiakan niatnya itu. Aku merasa bahwa ketika ia masih diliputi emosi yang terus memanas maka tidak mungkin bahwa pada saat itu pikirannya sedang baik sehingga aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan seraya untuk menenagkan emosinya. Setelah beberapa saat aku berusaha untuk menenangkannya, Ekspektasiku pun meleset dan malah bukan ketenangan yang tercipta, malah emosinya semakin memuncak. Aku serba salah pada saat itu. Dalam kondisi yang seperti itu, ia menagatakan kepadaku bahwa dia telah menghapus semua kenangan kita dan telah membuang semua pemberian yang pernah kuberikan kepadanya. Awalnya aku tak percaya dengan perkataannya itu, karena aku tahu bahwa dia hanya sedang dikuasai oleh emosi yang membara. Lantas aku pun mencoba menenangkan diriku, berulang-ulang kukatakan pada hatiku bahwa aku harus yakin bahwa semua yang dia katakan itu tidak betul-betul terjadi. Akan tetapi, lama-kelamaan akupun diliputi rasa takut dan keraguan yang membuatku kembali tak berdaya dan terus melemah ditambah lagi kenyataan bahwa keberangkatanku ke jogja akan dipercepat. Hal itu tentunya semakin memberatkan diriku, aku sungguh bingung bagaimana caraku mengatakan hal ini padanya di tengah situasi yang sedang kalut seperti ini? Pada malam itu, aku merasa bahwa kegelapan menjadi begitu pekat dengan kondisi kami berdua yang sedang seperti itu. Malampun berpaut cepat tanpa sedikitpun memberi jawab.

            Keesokan harinya, Timbul dalam pikiranku sebuah ide yang menurutku cukup ampuh untuk menenagkan dirinya sekaligus merupakan kesempatan yang baik untuk mengatakan padanya jika tanggal keberangkatanku akan dimajukan. Aku berpikir untuk mengajaknya pergi ke salah satu pantai dan di sana hendak kutenangkan dirinya serta memberitahukan kepadanya bahwa tanggal keberangkatanku akan dimajukan. Jujur saja, aku sangat berat mengatakan kepadanya bahwa aku akan segera pergi, bahkan mungkin air mataku akan berderai saat aku mengatakan hal ini kepadanya. Sempat terpikir dalam benakku bahwa mungkin dirinya akan begitu syok mendengarkan berita ini, namun kucoba untuk memberanikan diri ini untuk mengatakan yang sebenarnya kepadanya. Dengan segera aku merealisasikan ideku itu.
            Sesampainya kami berdua di pantai yang dituju, aku pun mulai mencairkan suasana yang begitu tegang dan dingin. Hal itu wajar karena dirinya belum lupa kejadian semalam yang terjadi pada kami berdua. Dia meresponi setiap perkataanku dengan begitu dingin hingga aku merasa dan meragu dalam hatiku apakah ideku ini akan berhasil mengembalikan senyumannya dan memuluskan segala jalan agar aku dapat mengatakan tentang tanggal keberangkatanku padanya. Saat itu menunjukkan siang hari. Setelah makan siang, aku mengajaknya berjalan-jalan ditepi pantai, ,menikmati udara pinggir laut yang menenangkan itu. Aku berharap hati dan pikirannya bisa lebih tenang. Rupanya, usahaku kali ini berhasil. Kami berdua berlari-lari dipinggir pantai, kami tertawa bersama dan berjalan bersama menyusuri pinggir pantai sampai aku merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk mengatakan kepadanya bahwa aku akan pergi dalam waktu yang dekat. Kemudian, aku menarik tangannya dan mengajaknya untuk duduk di atas pasir pantai yang terbentang luas di depan kami. Saat kami berdua sudah duduk dengan posisi saling berhadapan, hatiku menjadi terasa amat berat untuk berterus terang kepadanya. Akibatnya, aku hanya bisa terdiam dan menatap matanya tanpa mampu sedikitpun berkata-kata. Akhirnya ku yakinkan diriku. Ku pegang kedua tangannya -dengan air mata yang tak dapat kutahan- aku mengatakan kepadanya bahwa keberangkanku telah dimajukan, itu artinya dalam waktu dekat aku akan pergi. Sontak setelah mendengar perkataanku itu, aku melihat matanya menjadi berkaca-kaca dan dengan cepat dia melepas kedua tanganku lalu pergi dan mulai berjalan menjauhiku. Aku segera menangkap tangannya dan menahannya agar tidak pergi. Air mataku mengalir dengan lebih deras. Aku mencoba menahannya agar tidak pergi. Lantas, dia pun tiba-tiba menyuruhku untuk kembali duduk dengan posisi berhadapan seperti posisi kami semula, lalu dia menatapku dengan begitu tajam hingga tanpa dia sadari kalau air matanya telah jatuh ke pipinya. Saat melihat air matanya juga ikut mengalir, aku kembali memegang tangannya, Aku mengatakan padanya “jangan menyerah, kumohon.” Lalu aku melepas kalung dari leherku dan kupasangkan ke lehernya. Aku mengatakan “aku titip kalung ini padamu, kelak aku akan kembali dan mengambilnya darimu, aku pergi hanya sementara, selanjunya, aku akan kembali padamu, Ombak di laut ini saksinya”. Setelah kukatakan isi hatiku itu, diapun kembali menatapku dengan tajam sehingga aku kembali terdiam. Entah apa yang ada dipikirannya, didepan mataku, aku melihat dia melepas kalung yang kupasangkan dilehernya itu, Ketika melihat hal itu, air mataku semakin deras mengalir seiras dengan derasnya arus ombak yang kudengar. Kemudian aku bertanya dalam hatiku, inikah akhirnya? Bidadariku tak menginginkanku lagi? Air mataku kian bertambah deras mengalir hingga membasahi pasir pantai yang sedang kududuki itu. Aku merasa bahwa aku sudah tak berdaya lagi, pikiranku seakan mengeras buntu. Aku sudah tak tahu lagi harus berbuat apa. Hingga tiba-tiba aku melihat tangannya perlahan-lahan membuka tas ranselnya yang ia sandarkan di dekat pangkuannya, lalu mengeluarkan kotak pink kecil berisi sebuah cincin dan kalung yang pernah kuberikan padanya. Aku begitu terkejut melihat kotak berisi cincin dan kalung itu masih ada padanya, masih ia simpan, setelah sebelumnya ia telah mengatakan padaku bahwa ia telah membuangnya. Di kepalaku, timbul berbagai macam kemungkinan-kemungkinan bahwa akankah ia kembali membuangnya ataukah mungkin ia akan mengembalikannya kepadaku? Perlahan-perlahan kulihat dia membuka tutup kotak pink itu dan melihat serta menatap isi dari kotak itu yang tak lain dan tak bukan adalah sebuah cincin cantik dan kalung yang pernah kuberikan kepadanya. Aku pun melakukan hal yang sama dengannya, aku juga turut menatap isi kotak itu sambil menunggu apakah dia akan membuangnya ataukan mengembalikannya kepadaku. Aku terus menyeloteh tak karuan saat itu, berharap tidak ada satupun dari kemungkinan yang tadi kupikirkan terjadi. 

            Sejenak, kami berdua sama-sama terdiam. Hanya terdengar bunyi sapuan ombak laut yang mengisi keheningan itu. Kemudian, dia mengangkat kepalanya yang semula tertunduk, lalu dengan nada yang sayu dan pelan seraya mengambil kalung itu dari dalam kotak, ia berkata kepadaku “ aku tidak bisa memakainya sendirian”. Setelah aku mendengar perkataan itu, akupun tertegun diam. Lalu aku menundukkan kepalaku dan menyandarkan dahiku ke atas kedua tangannya dan aku menangis dengan sangatnya. Aku begitu terharu, mendengar perkataannya itu, Harapan yang semula sempat pupus, kini telah muncul kembali. Segera sesudah itu, aku menghapus air mataku kemudian kuambil kalung itu lalu kupakaikan ke lehernya, dan pula aku mengambil cincin itu dari dalam kotaknya dan kupasangkan ke jari manisnya. Disaksikan oleh sinar sang mentari, hamparan pasir luas, dan lautan biru nan-indah, cinta kami berdua dipersatukan kembali dan ikrar untuk terus berjuang bersama-sama menghadapi segala rintangan yang ada di depan kami menjadi sebuah momen indah yang sangat berkesan. 

            Setelah kesemuanya itu, kami berdua meneruskan aktifitas kami di pinggir pantai, kami berdua berlari bersama-sama, tak lupa juga canda dan tawa yang terus terukir disepanjang waktu kami berada di pantai itu.

            Sejak saat itu, kami berdua menjalani hari-hari seperti biasanya hingga tanpa sadar, hariku semakin mendekat, dan kini aku akan segera pergi meninggalkan bidadariku sendirian, merantau jauh ke negeri orang untuk merajut masa depanku. Satu hal yang pasti, jarak takkan mampu memisahkan hubungan kita berdua ataupun mengakhiri perjuangan yang masih terjalin ini. Aku pergi tetapi akan segera kembali padamu. Setelah rajutan masa depan ini kutuntaskan, aku akan datang kepadamu dan kita akan bersatu kembali. Oleh karena itu, jangan lagi menangis, jangan lagi bersedih, Aku mencintaimu, selamanya akan begitu. Kisah kita berdua selanjutnya akan terus terukir bersama dengan berlalunya waktu dan kehendak sang Ilahi....

Bersambung....

              

Komentar

Postingan populer dari blog ini

EKSPOSISI KITAB LUKAS 7: 36--50

KAPASITAS SEORANG PELAYAN

Allah menciptakan ragam bahasa